Coret-coret dinding kamar bersama anakku |
Tersebutlah I Posa, yang entah mengapa belakangan ini sering murung dan berdiam diri. Tappa diang mesa wattu, I Posa bertemu dengan sahabatnya, Si Ayam. Mereka bercengkrama layaknya kawan lama yang sekian tahun baru bertemu. Di sela asyiknya mereka tukar cerita, tappa maquami Si Kucing lao di Manuq.
"Muaq uitai mating atuo-tuoangmu, sepertinya hidupmu sangat bahagia," selidik Posa serius menatap Si Ayam. Sedikit tersenyum Manuq menjawab.
"Memang benar, dan seperti yang sering kau lihat, tiap pagi tuanku memberi saya makan. Saya berkokok riang. Kelihatannya sangat bahagia. Tapi ada yang tak kau ketahui. Muissang bandi, jangankan masuk ke dalam rumah tuanku, untuk menginjakkan kaki di teras saja saya tidak diperkenankan. Popo luttusi tuqu sandal mai di alaweu. Rua tomaq nalappis pekaer. Padahal tulu iyau towandi lamba naitai muaq meloq bomi pallappasang. Muaq palakang tania iyau, talloqu bomo nala," sedikit menggerutu.
Kedua sahabat ini menerawang dalam hening. Lalu seekor anjing melintas.
"Leppangmoq doloq, Asu," Posa melambai kepada Si Anjing.
"Apa bori immatingo," Si Anjing mendekat.
"Maimoq doloq nasicuritai taue. Maneattaq topa sirumung bomo," ucap Si Ayam.
Lalu si kucing berkata kepada Anjing.
"Simata uitao tuqu landur. Inggaqmu sibuq sannaq. Mua uita bomo landur, saya lihat hidupmu sangat bahagia," sembari melirik kepada Manuq dan dibalas anggukan.
"Mungkin merio-rio sannaq dita lamba bebas monayo rera. Seakan tak ada beban berlari-lari kecil, tapi muissang bandi, nanti dari sisa-sisa makananmu barulah saya bisa makan. Mungkin andangi musadari, tapi iqomo tuqu manyamanna tuomu posa. Tulang-tulang sisa makananmu yang kau buang dari paceko, iyamo tuqu lamba uduru untuk saya makan," Si Anjing menunduk.
"Jangan terlalu merendah, Asu," sambil senyum, Posa mencolek perut Si Anjing.
"Benar saudara, dan 1 hal yang tak kau ketahui, jangankan masuk ke dalam rumah manusia, mane landuraq di olo boyanna tarrusmaq nalaccar batu. Biasa toa toriq tappa natolloi wai loppaq tau mua mamanya boma toriq maitai ande di naung boyang. Mequang boma daiq di nawang," pilu Asu berkisah.
"Tongang tuqu, kehidupan Si Kucing-lah yang paling bahagia," tegas Si Ayam.
Lama Posa menunduk lalu menjawab.
"Memang muitaq mieq simata nasapu-sapu puangngu. Malah saya kadang tidur bersama tuanku. Tapi biasa tuqu tappa dalaq uita nawang. Biasa tappa naappas pekaer puangngu," silih berganti menatap kepada Asu dan Manuq.
"Gengge aroq posa?" tanya Manuq.
"Biasa memang BAB di patindoanna puangngu."
"Naratangmi!" Asu menahan tawa.
*****
Seperti itulah juga manusia. Kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain. Seakan-akan segala kebahagiaan, ketenangan, kesempurnaan, kenyamanan dan ketentraman hanyalah milik orang lain. Lalu kita lupa bersyukur dengan apa yang telah kita miliki.
(Dongeng yang dikisahkan seorang Ustaz pada malam 19 Ramadhan di Mesjid Kampus Unasman yang beliau dengar dari neneknya sewaktu masih kecil)