Jumat, 02 Juni 2017

RIWAYAT KESENIAN DI SEPPONG


Beberapa lagu lawas 90-an mengalun saat kutulis ini. Suasananya romantis, jadi sekalian saja bicara masa lalu. Iya sekitar hampir 3  tahun belakangan mondar-mandir Madatte - Rea - Seppong. Di pedalaman Matakali- Seppong ini-lah pada suatu Maghrib menghentikan langkah sejenak di samping sebuah rumah penduduk hanya untuk mendengar elong peondo yang sedang mengalun dari atas rumah. Syahdu sekali!

Di dusun Seppong juga menemukan kesadaran kolektif berupa arisan telur dan arisan organ tunggal (electon) dengan mekanisme: para tetangga membawa telur atau patungan menyewa kelompok organ tunggal (biasanya yang diundang kelompok rebana Tammengundur) untuk keluarga yang memiliki hajatan dengan catatan akan dibalas ketika  kita juga melaksanakan sebuah hajatan. 

Tapi di Seppong juga akhirnya melihat kecapi berdebu tergantung saja di kolong rumah warga sekaligus mendengar kisah tentang kelompok rebana mereka yang membubarkan diri. Instrumen rebana bergelantungan saja di rumah mereka dan hanya dimainkan bila salah seorang kerabat dari mereka sendiri di Seppong hendak menikah. Para penabuhnya tinggal ditunjuk saja orangnya, semudah mereka mengalihfungsikan kuda Pattekeq menjadi saeyyang pattuqduq. Agak serampangan kelihatannya, tapi disitulah jejak eksistensi kesenian tradisional di Seppong dapat dibaca walau pada akhirnya harus menyerah kepada tuntutan hidup.


rawana
Rebana andalan bernama I Kelles


Paling miris ketika menemukan sebuah rebana tanpa kulit (Pallapaq) di sebuah halaman rumah warga, nyaris lenyap tertimbun tanah dengan kondisi kayu telah lapuk di beberapa sisinya. Kata pemiliknya, "Marasa sannaq pelloana tuqu anaq." Waduh, rebana yang konon memiliki bunyi berkualitas ini dibuang begitu saja. Bagian yang lapuk di bodi rebana tentu akibat terlalu lama tergeletak di tanah, diguyur hujan lalu dengan sendirinya tertimbun. Lalu saya bersihkan rebana tersebut dan meminta izin untuk saya bawa pulang. Bagian yang lapuk sekalian saya kupas terus ditambal menggunakan serbuk gergaji yang sudah dicampur lem. Setelah permukaannya telah rata, barulah didempul. Untuk tahap pemasangan kulit pallapaq, rebana ini dibawa ke Aribang. Selalu bangga memamerkan rebana tua ini dan bercanda memberinya nama, I Kelles.

Lagu lawas dari Kindern - Masih Ada, masih mengalun menggapai relung hati. Iya, ada rasa rindu yang dititipkan lagu ini: masih cinta, amuk rindu dan sederet kenangan itulah energi masa depan kita bangun lagi dengan menempatkan segala sesuatunya pada tempatnya.

Menghormati masa lalu!



rebana
Rebana tua sewaktu proses perbaikan