PENJAGA TRADISI
(Mengenal Puaq Hasir, Pembuat Rebana di Sekitaran Polewali)
Rebana buah tangan Puaq Hasir untuk RBN Madatte Arts (Foto by: Lukman) |
Dimana
pembuat rawana (baca: rebana)? Pertanyaan
ini kembali mencuat
di Sekret Madatte Arts setelah sekian lama nyaris lupa diri menikmati 5
buah rawana pinjaman milik kelompok Parrawana
Nanaqeke Mane Tibaqbar Dusun Rea Jaya Kecamatan Matakali. Pertanyaan ini masih rangkaian panjang upaya pengadaan bertahap sebagai solusi meminimalisir ribetnya pinjam
kiri-kanan. Demi Madatte Arts juga ke
depannya!
Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami baru tahu kalau ternyata di
sekitaran Polewali juga ada pembuat rawana.
Agak penasaran juga karena selama ini, setiap membincang alat musik tradisional
Mandar pasti acuannya ke Balanipa. Dari arahan saudara Sappe kami menuju Aribang:
daerah yang lebih terkenal dengan dukun urut tulang patahnya. Ketenaran dukun
ini kira-kira setara-lah dengan nama besar Kindoq Hebaq (mpu tulang patah) di Manding.
Data yang kami pegang menuju Aribang hanya berupa 1
kalimat pendek dari saudara Sappe, “Ada pembuat rawana di Aribang.”
Itu saja!
Seingat
saya, sampai 8-9 kali kami harus mampir bertanya dimana Aribang dan siapa
pembuat rawana di Aribang? Menjelang
maghrib baru-lah kami tiba dan bertemu orang yang dicari.
Pertemuan pertama sangat singkat karena dijemput maghrib.
Hanya sempat mengutarakan maksud untuk memesan 2 rebana ukuran besar. Tawar
menawar harga hanya sekilas dan seadanya saja. Tak lama berbincang, kami mohon
diri sembari menanyakan jalan pulang alternatif yang lebih dekat. Ternyata,
dari jalan Poros Majene jarak tempuh lebih dekat kalau memilih belok di jalan Poros
Basseang (Kantor Bupati Polman terus ke utara) menuju Aribang, daripada lewat Poros
Bunga-Bunga yang terlalu berputar, jauh
dan banyak kelokan. Paling tidak jalan Poros Basseang lebih nyaman dan mulus. Melalui
jalan Poros Basseang jalannya lurus saja sampai buntu di lapangan sepakbola Basseang lalu belok kiri lagi (kalau belok kanan menuju Beluwa
tembus kantor Camat Anreapi). Setelah belok kiri, sekitar 50 meter dapat pos
ronda sebelah kanan, kita belok tepat di samping pos ronda. Kurang lebih 30
meter ke dalam, kita belok kiri lagi dan langsung menyeberangi anak sungai
dangkal. Selepas menyeberangi sungai kita dapati lagi pemukiman dan kira-kira sekitar 60 meter ke depan, carilah rumah di sisi kanan yang ada gardu
penjualan di depannya. Terdapat banyak bunga dan berbagai macam tanamaan lain berwadahkan koker,
itulah rumah Pak Abd. Latif- pembuat rawana
yang dimaksud di atas.
Berselang beberapa hari kemudian, kami kembali menemui
Pak Abd. Latif.
Kesan pertama, asyik
juga berbincang dengan Puaq Hasir / Pak Abd. Latif karena beliau bukan orang yang pasif.
Dari penuturan beliau kami tahu bahwa pria gempal beranak 2 dari
istri yang bernama Syamsiah ini sebenarnya pendatang dari Kamba’jawa Limboro.
Beliau menetap di Aribang sejak tahun 1971. Umumnya masyarakat Aribang juga
adalah pendatang dari Tinambung- Limboro yang rata-rata berprofesi sebagai
petani dan pengolah gula merah. Artinya, di sekitaran Aribang banyak pohon enau
atau manyang. Satu-satunya alat
transportasi umum di
wilayah ini hanyalah ojek. Nanti hari pasar- kemungkinan mengikuti atau mengacu
pada Pasar Sentral Pekkabata, Selasa dan Jumat barulah mobil angkot masuk ke wilayah ini. Secara
administrasi kami agak bingung dengan nama Aribang sebab menurut bapak
kelahiran Batu, 31 Desember 1958 ini, wilayah tempatnya
bermukim adalah Jalan
Tabone Dusun Toyangan Desa Pasiang Kecamatan Matakali. Terus Aribang itu nama
apa? Ternyata Aribang adalah dusun sebelah.
Selain berprofesi sebagai
petani, bapak berusia 56 tahun ini juga sehari-harinya menekuni bidang
pertukangan. Hampir semua perabot atau bagian rumah beliau yang terbuat dari
kayu adalah hasil kerjanya. Imam Mesjid Duampanua sekaligus pemimpin kelompok rawana adalah sederet kegiatan yang
menunjukkan bahwa beliau cukup terpandang di wilayah ini. Kendati beliau
hanyalah tamatan SD (sekolah Dasar) dan termasuk alumni pertama SD Matakali.
Tentang rawana, beliau mengisahkan bahwa di usia
16 tahun- tepatnya tahun 1975 beliau telah bergabung dalam kelompok rawana. Mengikuti kakak sepupu sekaligus guru rawana beliau yang bernama Sulle (Imam
mesjid Tibakang Basseang kala itu), pertunjukan demi pertunjukan dilalui. Sayangnya,
dari keseluruhan teman seperjuangan beliau bermain rawana di masa lampau, hanya tinggal Puaq Hasir seorang yang
masih eksis bermain rawana
hingga kini. Sehingga tak salah bila guru rawana
beliau lebih memilih mewariskan rawana
pusakanya yang berdiameter 60 cm kepada Puaq Hasir, ketimbang kepada putranya
sendiri. Menurut Puaq Hasir, rawana sossorang (pusaka) pemberian gurunya
tadi telah ada sebelum Puaq Hasir lahir. “Apakah karena usianya yang tua
sehingga rawana tadi menjadi
sossorang atau memang memiliki keistimewaan lain?” tanya kami. Beliau lalu menjawab, itu salah satunya. Keistimewaan
lainnya, bila ada orang yang meniatkan atau berhajat untuk mengundang saya pergi bermain, terkadang rawana sossorang tadi berbunyi sendiri tanpa ada yang menyentuh. Luar
biasa!
Rawana sangat identik dengan kebudayaan Islam. Bahkan Abdul
Qadir Jaelani, salah satu tokoh Islam yang
sangat dihormati, khususnya jamaah Tarikat Qadariah disebut-sebut sebagai “Wali
Rebana.” Menurut Puaq Hasir, rawana merupakan 1
kesatuan dengan musik gambus.
Apalagi, boleh dikata lagu-lagu dan irama gambus memiliki kesamaan dengan lagu rawana. Selain sebagai sarana hiburan, rawana juga memiliki manfaat berdasarkan
kasus yang dikisahkan oleh Puaq Hasir bahwa pernah suatu ketika, terdapat orang
sakit di rumah orang yang melakukan hajatan. Awalnya orang menduga bahwa
kebisingan rawana akan menggangu
ketenangan/istirahat orang sakit keras tersebut. Tak disangka, ketika kelompok
parrawana telah tiba dan mempertunjukkan
aksinya, tuan rumah yang sakit tadi malah dapat duduk dan asyik menonton
pertunjukan rawana tadi. Puaq Hasir lalu berpesan bahwa, jika ada orang yang berhajat atau
meniatkan untuk memanggil parrawana
mengisi pesta/ hajatan di rumahnya, lalu kemudian dibatalkan maka tuan rumah
yang berhajat tadi akan jatuh sakit atau paling tidak perutnya akan kembung. Ditegaskan
bahwa rawana bukan hanya sekedar menabuh dan bergoyang, ada ritual di dalamnya,
ada nilai filosofis dan yang terpenting ada dzikir di dalamnya. Tidak ada
rawana tanpa dzikir. Bacaan parrawana adalah kitab Barasanji. Ini yang mulai
hilang dari parrawana karena beberapa kelompok rebana hari ini cenderung hanya fokus
pada tabuhan dan formasi performance yang memukau. Padahal parrawana memiliki
lagu wajib dan syair pembuka sebelum menabuh yang kesemuanya adalah dzikir. Hal
ini pula-lah sehingga Puaq Hasir mengatakan kalau anda memang mau belajar
marrawana, anda harus diceraq terlebih dahulu (ritual khusus) dan butuh waktu
lama untuk bisa menjadi parrawana yang benar-benar parrawana yang sesungguhnya.
Secara umum, ritual macceraq merupakan prosesi yang memang sering dilakukan
masyarakat Mandar ketika akan memulai/ pertamakali menggunakan sesuatu, apalagi
yang sifatnya ilmu pengetahuan. Ritual
ini dimaksudkan agar ilmu yang diajarkan dapat diterima dengan baik dan
berberkah. Ada ketulusan dalam proses ini. Intinya menurut Puaq Hasir, tidak
sembarang tempat mengambil dan tidak sembarang tempat menerima. Apa tidak
mungkin bahwa bermain rawana sejatinya memiliki hubungan dengan tarian sufi Jalaluddin
Rumi di Turki? Bukankah kopiah parrawana disebut juga dengan Sokkoq Turuki?
Puaq Hasir sedikit
bercerita bahwa dulu, acara pappatammaq (khatam mengaji) didahului acara malam
yang lebih penting sebelum keesokan harinya diarak keliling kampung dengan
messawe saiyyang pattuqduq. Dapat dikatakan bahwa messawe hanyalah seremonial
dari acara inti pada malam hari. Sebab sebelum dihibur oleh parrawana, acara
malam dibuka dengan pembacaan ayat suci Al Quran sekaligus menuntaskan dan
mengsahkan bahwa anak dari tuan rumah telah benar-benar khatam mengaji. Nah,
setelah acara inti tadi, masuklah parrawana menghibur sampai tengah malam. Jangan
membayangkan hiburan tunggal ini akan membosankan, sebab bila dilihat dari pembagian
fungsi/ peran personel dalam 1 kelompok rawana, jelas terlihat adanya desain
dinamika pertunjukan, kontrol tempo, keterlibatan penonton dan strategi menjaga
mood para penikmat. Variasi paket hiburan yang ditawarkan parrawana dapat
diurai sebagai berikut: 1) tabuhan yang beragam, 2) ada sesi makkalindaqdaq, 3)
sesi lagu (dzikir), 4) ada paqdenggoq (ada unsur tarinya), 5) untuk sesi tengah
malam, telah disiapkan teater rakyat yaitu lesa-lesang dan koa-koayang. Di
sini dapat dilihat bahwa parrawana yang sesungguhnya mesti dibekali beragam
keahlian dasar misalnya pencak silat dan kehalusan gerak layaknya penari.
Berbekal pengalaman
bermain rawana selama 39 tahun, Puaq Hasir
dengan tegas menjawab keraguan akan masa depan parrawana bahwa, “Selama masih ada saiyyang
pattuqduq, selama itu pula-lah parrawana
tetap ada.” Ketika kami bertanya kepada beliau, “Adakah niat untuk berhenti marrawana?” Beliau menjawab dengan sedikit
tersenyum, “Tidak ada. Bahkan kalau lagi sendiri di rumah, saya ambil rawana dan memainkannya sendiri.” Totalitas,
begitu kami memaknainya. Kecintaan terhadap rawana
itu jugalah yang kemudian membuat Puaq Hasir berinisiatif mendirikan kelompok rawana di Aribang. Sebenarnya kelompok
ini telah lama terbentuk, tapi nanti tahun 2008 baru diberi nama secara
resmi mengikuti aturan administrasi
suatu pertunjukan di Tapango kala itu. Ditetapkanlah Al Ikhwan sebagai nama
kelompok tersebut. Anggota parrawana
Al Ikhwan berjumlah 12 orang dengan usia berkisar 15-30 tahun. Sebagai upaya
kaderisasi, anggota Al Ikhwan dikelaskan lagi berdasarkan usia (anak-anak dan remaja-dewasa). Tanpa
diminta, beliau lalu memperlihatkan 2 foto pertunjukan
kelompok Al Ikhwan. Foto yang 1 agak kusam dan merupakan foto tua bergambar beberapa parrawana
nanaqeke yang kemudian di foto yang
satunya lagi sudah dewasa berpose dengan kostum khas parrawana. Kami sempat menanyakan tips sehingga masih ada anak muda
yang berminat dan bertahan bermain rawana.
Beliau menjawab bahwa terkadang kita yang harus mengikuti kemauan mereka yang
lebih muda.
Memang bagaimana tahapan
belajar marrawana? tanya kami. Puaq Hasir menjelaskan bahwa setelah diceraq,
tahapan berikutnya adalah penjelasan tentang sejarah (tentang sejarah, sedikit
banyak akan sampai dan dibahas tentang Wali dan Rasulullah), setelah itu
pemahaman tentang makna/ maksud/ simbol yang terkandung dalam permainan rawana,
selanjutnya teknik dan macam-macam tabuhan atau deqdeq, kemudian lanjut pada
lagu atau dzikir (deqdeq dan dzikir diajarkan bergantian atau selang-seling),
terakhir adalah pemantapan yang di dalamnya terdapat banyak variasi dalam
pertunjukan rawana misalnya, denggoq, koa-koayang dan pallesa-lesang.
Tepat tahun 1990, Puaq
Hasir mencoba membuat rawana untuk pertama
kalinya. Beliau memperlihatkan rawana yang pertama dibuat berdiameter kira-kira 50 cm dan merupakan rawana terbaik yang pernah beliau buat. Rawana yang terbuat dari kayu nangka
tersebut merupakan rawana kesayangan
setelah rawana sossorang yang telah dijelaskan di atas. Kalau rawana sossorang tidak akan pernah dijual, tetapi rawana kayu nangka ini hanya akan dijual
tidak di bawah Rp 500.000. Padahal rawana
yang lebih besar yang kami pesan berdiameter 60 cm hanya dihargai Rp 300.000. Rawana kesayangan
Puaq Hasir memang terlihat lebih elegan dan mewah.
Sekedar tambahan bahwa kendati tidak ada standar paten tentang ukuran besar-kecilnya rawana tetapi Puaq Hasir berpendapat rata-rata rawana berukuran antara 30-70 cm. Tingkatan atau selisih diameter per rawana tergantung si pembuat atau pemesan karna terkadang ada juga pembuat rawana yang mematok selisih 2 cm per rawana. Adapun harga rawana dipatok antara Rp 150.000 s/d Rp 600.000. Sedangkan bila kita memesan rawana langsung 1 set yang berjumlah 10 buah dengan ukuran bertingkat, Puaq Hasir mematok harga Rp 3.500.000. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan harga per rawana antara lain; ukuran besar kecilnya rawana dan jenis kayunya. Lanjut beliau, kayu terbaik dan umum dipakai membuat rawana adalah kayu nangka, sendana dan panggoriq. Sedangkan kayu berkualitas rendah adalah kayu durian. Bila dinominalkan, selisih kayu nangka dengan kayu durian bisa mencapai Rp 200.000. Begitu jelas perbedaan kualitasnya.
Ditanya perihal bagian tersulit dalam pembuatan rawana, beliau menjelaskan bahwa yang berhubungan dengan kayu-lah yang tersulit. Mulai dari pengambilan kayu di gunung, jasa tukang senso sudah membutuhkan upah Rp 50.000 per batang kayu. Penderitaan dimulai ketika potongan kayu tadi digelinding menuruni punggung gunung lalu dipikul. Memikul sendiri potongan kayu merupakan perjuangan terberat. Setelah berada di jalan setapak barulah potongan kayu tadi diangkut motor menuju rumah Puaq Hasir. Dalam proses pembuatan atau pembentukan batang kayu menjadi badan/ bodi rawana, alat pertukangan yang dipakai antara lain pahat, bor, parang dan kattang. Kalau semua bahan telah siap, proses pembentukan bodi rawana biasanya hanya memakan waktu 1-3 hari. Adapun kesulitannya karna potongan batang kayu tadi bagian tengahnya dibentuk dengan cara dilubangi terlebih dahulu (makkaloqdoqi atau mattombong) menggunakan pahat atau bor. Jenis kayu sangat menentukan kesukaran dan lamanya pembentukan bodi. Tapi yang pasti, daya tahan dan penampilan eksklusif terlihat dari jenis kayu yang digunakan. Selain jenis kayu, kualitas bunyi yang dihasilkan juga berdasar pada lebar mulut atau lubang resonansi, tebal tipisnya bodi dan keseimbangan lubang resonansi dari tiap sisinya. Biasanya rawana yang bodinya agak tebal/ tinggi diukur dari kulit hingga lubang resonansi menghasilkan bunyi yang agak ngebass atau mambo, sedangkan rawana yang bodinya agak tipis bunyinya sedikit runcing.
Sekedar tambahan bahwa kendati tidak ada standar paten tentang ukuran besar-kecilnya rawana tetapi Puaq Hasir berpendapat rata-rata rawana berukuran antara 30-70 cm. Tingkatan atau selisih diameter per rawana tergantung si pembuat atau pemesan karna terkadang ada juga pembuat rawana yang mematok selisih 2 cm per rawana. Adapun harga rawana dipatok antara Rp 150.000 s/d Rp 600.000. Sedangkan bila kita memesan rawana langsung 1 set yang berjumlah 10 buah dengan ukuran bertingkat, Puaq Hasir mematok harga Rp 3.500.000. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan harga per rawana antara lain; ukuran besar kecilnya rawana dan jenis kayunya. Lanjut beliau, kayu terbaik dan umum dipakai membuat rawana adalah kayu nangka, sendana dan panggoriq. Sedangkan kayu berkualitas rendah adalah kayu durian. Bila dinominalkan, selisih kayu nangka dengan kayu durian bisa mencapai Rp 200.000. Begitu jelas perbedaan kualitasnya.
Ditanya perihal bagian tersulit dalam pembuatan rawana, beliau menjelaskan bahwa yang berhubungan dengan kayu-lah yang tersulit. Mulai dari pengambilan kayu di gunung, jasa tukang senso sudah membutuhkan upah Rp 50.000 per batang kayu. Penderitaan dimulai ketika potongan kayu tadi digelinding menuruni punggung gunung lalu dipikul. Memikul sendiri potongan kayu merupakan perjuangan terberat. Setelah berada di jalan setapak barulah potongan kayu tadi diangkut motor menuju rumah Puaq Hasir. Dalam proses pembuatan atau pembentukan batang kayu menjadi badan/ bodi rawana, alat pertukangan yang dipakai antara lain pahat, bor, parang dan kattang. Kalau semua bahan telah siap, proses pembentukan bodi rawana biasanya hanya memakan waktu 1-3 hari. Adapun kesulitannya karna potongan batang kayu tadi bagian tengahnya dibentuk dengan cara dilubangi terlebih dahulu (makkaloqdoqi atau mattombong) menggunakan pahat atau bor. Jenis kayu sangat menentukan kesukaran dan lamanya pembentukan bodi. Tapi yang pasti, daya tahan dan penampilan eksklusif terlihat dari jenis kayu yang digunakan. Selain jenis kayu, kualitas bunyi yang dihasilkan juga berdasar pada lebar mulut atau lubang resonansi, tebal tipisnya bodi dan keseimbangan lubang resonansi dari tiap sisinya. Biasanya rawana yang bodinya agak tebal/ tinggi diukur dari kulit hingga lubang resonansi menghasilkan bunyi yang agak ngebass atau mambo, sedangkan rawana yang bodinya agak tipis bunyinya sedikit runcing.
Tahapan pembuatan rawana dapat dibagi dalam 2 unsur
dasar yaitu 1) batang kayu: melubangi
bagian tengah kayu, pembentukan bagian luar bodi agar bundar menggunakan
kattang, membentuk variasi atau lekukan,
membuat lubang kecil sepanjang sisi luar untuk menancapkan pasak atau paku agar
kulit dapat menempel ke bodi. 2) kulit (pakolong): mengeringkan kulit di panas
matahari sekitar 1-2 minggu dengan menghindari hujan
dan ditaruh di tempat aman yang terhindar dari jilatan anjing, membersihkan bulu tidak sampai 1 jam dengan pisau atau parang tajam, rendam di air
selama 2 hari (sampai 3 hari direndam, kulit akan hancur atau rapuh/ mando). Kulit
dipasang atau direkatkan ke bodi ketika kulit masih basah biar mudah ditarik
untuk mengencangkan. Setelah kulit telah terpasang di bodi rawana, proses pengeringan kulit cukup di ruang tertutup saja atau
tidak dijemur lagi di bawah sinar matahari. Keseluruhan proses di atas hanya
memakan waktu 3 hari – 1 minggu sampai rawana
telah siap ditabuh (di luar proses pengeringan pakolong/
kulit).
Ketelitian saat pembentukan bodi sangat diperlukan karna mempengaruhi kualitas. Hanya dengan melihat jenis kayu, kulit, keseimbangan/ rata tiap sisi, lubang atau mulut resonansi tepat di tengah, posisi kulit dan lekuk pada bodi, kita sudah dapat mengetahui kualitas rawana.
Untuk jenis kulit atau pakolong, idealnya kulit berkualitas kriterianya sebagai berikut; kulit kambing betina, berusia tua atau telah pernah mengandung maksimal 3 kali, memiliki bintik merah-putih atau paling tidak balo (berwarna belang minimalis). Ras kambing juga diperhatikan karena kulit kambing biasa, ternyata lebih berkualitas dibanding ras kambing donggala yang besar itu. Tebal-tipisnya kulit turut mempengaruhi bunyi yang dihasilkan dan kulit kambing donggala lebih tebal padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah kulit kambing yang tipis. Ada pengecualian terhadap rawana kecil buat anak-anak karena memang bunyi yang ngebass yang dibutuhkan sehingga kulit kambing donggala tidak masalah buat rawana kecil. Tidak jauh beda dengan kualitas kayu, pilihan kulit berkualitas juga sangat mempengaruhi daya tahan serta kualitas bunyi.
Sebagai Imam Mesjid, Pak Abd. Latif atau Puaq Hasir terkadang tidak perlu membeli kulit kambing ke penjagal atau ke tempat pemotongan hewan karna biasanya bila ada hajatan aqiqah, Imam sekaligus panggereq (pemotong) hewan sering dihadiahi pakolong atau kulit kambing yang dipotong. Rata-rata dalam setiap produksi rawana yang dilakukan, Puaq Hasir bekerja sendiri. Kalaupun meminta bantuan orang lain, paling pada saat mallapaq atau merekatkan kulit ke bodi rawana karna harus ada yang menarik kencang kulit dan yang lain memaku.
Rawana juga memiliki pola atau jenis ragam pukulan. Untuk hal ini, Puaq Hasir membaginya dalam 10 jenis deqdeq atau pukulan antara lain; 1) deqdeq pambukaq (pembuka), 2) deqdeq kanjar, 3) deqdeq tallu-tallu, 4) deqdeq panette, 5) deqdeq bonang, 6) deqdeq dangdut, 7) deqdeq satu-satu atau penutup (poin 8-10 Puaq Hasir lupa namanya). Pertunjukan rawana sangat bergantung pada acara-acara tertentu. Parrawana biasanya ditampilkan pada acara pernikahan untuk metindor/ mengantar mempelai pria, acara maulid/ pappatammaq atau saiyyang pattuqduq dan acara penyambutan. Untuk acara metindor, biasanya deqdeq dangdut dan kanjar yang menjadi prioritas. Sedangkan untuk acara pappatammaq, deqdeq bonang adalah deqdeq wajib walau sering juga dikolaborasi dengan deqdeq-deqdeq yang lain. Masing-masing hajatan di atas memiliki karakteristik tersendiri dalam penyajian hiburan rawananya. Paling tidak, pada prosesi mappatammaq, dibutuhkan kalindaqdaq yang rada mattere para pessawe. Akibat seringnya bersentuhan dengan ketiga acara di atas sehingga para parrawana sudah hafal bahwa mendekat ramadhan itu musim nikah, acara penyambutan atau seremonial daerah biasanya agustusan atau akhir tahun di ajang Festival Budaya Kab. Polewali Mandar. Berbicara honor parrawana berkisar antara Rp 500.000 – Rp 700.000. ketika ditanya pertunjukan yang paling berkesan selama bermain rebana, Puaq Hasir berkisah, pernah ketika diundang bermain untuk mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita di Pulau Battoa. Selain harus berjalan mengitari daerah perbukitan di pulau tersebut, perahu yang mereka tumpangi juga hampir tenggelam. Kesan yang memicu adrenalin ternyata.
Dalam perjalanan karir produksi rawananya, kurang lebih sekitar 50 buah rawana yang telah dibuat. Rata-rata pertahunnya agak sulit dihitung tapi pemesanan terfantastis terjadi pada tahun 2013 ketika Disbudpar Polman menjalankan program bantuan alat tradisional kepada Sanggar/ Komunitas atau Kelompok Kesenian yang terdaftar. Saat itu, beliau mengerjakan sekitar 30 buah rawana. Rata-rata pemesan rawana yang dikerjakan Puaq Hasir datang dari kelompok rebana dari Madatte, Rea Barat atau Desa Patampanua bahkan dari Mammi juga pernah datang. Selain mengikuti naluri pertukangan yang memang digeluti, selera dan kualitas rawana dari Puaq Hasir tak diragukan lagi. Kecintaan terhadap rawana juga dapat dilihat disitu. Bahkan, Mak Cammana- maestro parrawana towaine dari Limboro kalau mendapat undangan tampil di Polewali, tak jarang meminjam atau memakai rawana Puaq Hasir. Apalagi beliau masih terikat pertalian darah. Dapat dikatakan bahwa rawana adalah bakat turunan dari keluarga besar beliau, mengingat tak sedikit family Puaq Basir juga yang mengisi skuad kelompok rawana Al Ikhawan yang dibinanya.
Ketelitian saat pembentukan bodi sangat diperlukan karna mempengaruhi kualitas. Hanya dengan melihat jenis kayu, kulit, keseimbangan/ rata tiap sisi, lubang atau mulut resonansi tepat di tengah, posisi kulit dan lekuk pada bodi, kita sudah dapat mengetahui kualitas rawana.
Untuk jenis kulit atau pakolong, idealnya kulit berkualitas kriterianya sebagai berikut; kulit kambing betina, berusia tua atau telah pernah mengandung maksimal 3 kali, memiliki bintik merah-putih atau paling tidak balo (berwarna belang minimalis). Ras kambing juga diperhatikan karena kulit kambing biasa, ternyata lebih berkualitas dibanding ras kambing donggala yang besar itu. Tebal-tipisnya kulit turut mempengaruhi bunyi yang dihasilkan dan kulit kambing donggala lebih tebal padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah kulit kambing yang tipis. Ada pengecualian terhadap rawana kecil buat anak-anak karena memang bunyi yang ngebass yang dibutuhkan sehingga kulit kambing donggala tidak masalah buat rawana kecil. Tidak jauh beda dengan kualitas kayu, pilihan kulit berkualitas juga sangat mempengaruhi daya tahan serta kualitas bunyi.
Sebagai Imam Mesjid, Pak Abd. Latif atau Puaq Hasir terkadang tidak perlu membeli kulit kambing ke penjagal atau ke tempat pemotongan hewan karna biasanya bila ada hajatan aqiqah, Imam sekaligus panggereq (pemotong) hewan sering dihadiahi pakolong atau kulit kambing yang dipotong. Rata-rata dalam setiap produksi rawana yang dilakukan, Puaq Hasir bekerja sendiri. Kalaupun meminta bantuan orang lain, paling pada saat mallapaq atau merekatkan kulit ke bodi rawana karna harus ada yang menarik kencang kulit dan yang lain memaku.
Rawana juga memiliki pola atau jenis ragam pukulan. Untuk hal ini, Puaq Hasir membaginya dalam 10 jenis deqdeq atau pukulan antara lain; 1) deqdeq pambukaq (pembuka), 2) deqdeq kanjar, 3) deqdeq tallu-tallu, 4) deqdeq panette, 5) deqdeq bonang, 6) deqdeq dangdut, 7) deqdeq satu-satu atau penutup (poin 8-10 Puaq Hasir lupa namanya). Pertunjukan rawana sangat bergantung pada acara-acara tertentu. Parrawana biasanya ditampilkan pada acara pernikahan untuk metindor/ mengantar mempelai pria, acara maulid/ pappatammaq atau saiyyang pattuqduq dan acara penyambutan. Untuk acara metindor, biasanya deqdeq dangdut dan kanjar yang menjadi prioritas. Sedangkan untuk acara pappatammaq, deqdeq bonang adalah deqdeq wajib walau sering juga dikolaborasi dengan deqdeq-deqdeq yang lain. Masing-masing hajatan di atas memiliki karakteristik tersendiri dalam penyajian hiburan rawananya. Paling tidak, pada prosesi mappatammaq, dibutuhkan kalindaqdaq yang rada mattere para pessawe. Akibat seringnya bersentuhan dengan ketiga acara di atas sehingga para parrawana sudah hafal bahwa mendekat ramadhan itu musim nikah, acara penyambutan atau seremonial daerah biasanya agustusan atau akhir tahun di ajang Festival Budaya Kab. Polewali Mandar. Berbicara honor parrawana berkisar antara Rp 500.000 – Rp 700.000. ketika ditanya pertunjukan yang paling berkesan selama bermain rebana, Puaq Hasir berkisah, pernah ketika diundang bermain untuk mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita di Pulau Battoa. Selain harus berjalan mengitari daerah perbukitan di pulau tersebut, perahu yang mereka tumpangi juga hampir tenggelam. Kesan yang memicu adrenalin ternyata.
Dalam perjalanan karir produksi rawananya, kurang lebih sekitar 50 buah rawana yang telah dibuat. Rata-rata pertahunnya agak sulit dihitung tapi pemesanan terfantastis terjadi pada tahun 2013 ketika Disbudpar Polman menjalankan program bantuan alat tradisional kepada Sanggar/ Komunitas atau Kelompok Kesenian yang terdaftar. Saat itu, beliau mengerjakan sekitar 30 buah rawana. Rata-rata pemesan rawana yang dikerjakan Puaq Hasir datang dari kelompok rebana dari Madatte, Rea Barat atau Desa Patampanua bahkan dari Mammi juga pernah datang. Selain mengikuti naluri pertukangan yang memang digeluti, selera dan kualitas rawana dari Puaq Hasir tak diragukan lagi. Kecintaan terhadap rawana juga dapat dilihat disitu. Bahkan, Mak Cammana- maestro parrawana towaine dari Limboro kalau mendapat undangan tampil di Polewali, tak jarang meminjam atau memakai rawana Puaq Hasir. Apalagi beliau masih terikat pertalian darah. Dapat dikatakan bahwa rawana adalah bakat turunan dari keluarga besar beliau, mengingat tak sedikit family Puaq Basir juga yang mengisi skuad kelompok rawana Al Ikhawan yang dibinanya.
Tidak berbeda dengan para
mpu-mpu lain dalam dunia kesenian tradisional Mandar, prosesi maqundungngi atau ritual khusus juga
kerap dilakukan oleh Puaq Hasir. Ketika hendak atau mendapat undangan mentas, ritual maqundungngi rawana
dilakukan dengan tata cara, rawana sossorang yang dijelaskan di atas diundungngi lebih dulu lalu diikuti rawana yang lain. Ada penegasan bahwa
rawana sossorang wajib diundungngi sebelum dipakai. Dengan penuh kesadaran
sebagai seorang Imam Mesjid beliau menegaskan bahwa prosesi tadi bukan musrik.
Menurut beliau, rawana yang telah diundungngi akan memiliki bunyi yang
lebih bagus dan tentu saja menarik perhatian orang. Hanya saja, kualitas bunyi
juga harus ditopang dengan keahlian- teknik bermain dan juga perawatan. Tentang
perawatan rawana, intinya hindari air
atau suhu lembab. Jika suhu lembab tak dapat dihindari misalnya bermain outdoor
dan itu malam hari, cara menyiasatinya adalah menggunakan 2 tali stelan atau palliar yang lebih besar. Kualitas bunyi
sangat tergantung pada kendor-tegangnya kulit rawana atau pallepe. Dan
semakin tinggi suhu atau panas maka semakin kencang juga kulit rebana. Cara
menyimpan rawana yang paling bagus
adalah digantung, jangan diletakkan sembarangan. Alasan logis paling tidak
terhindar dari tikus. Setelah rawana habis
digunakan, langsung kendorkan lagi palliarnya atau tali stelannya. Dan yang
pasti, rawana yang berukuran besar memiliki bunyi yang mendengung dengan
resonansi yang panjang. Sangat berbeda dengan rawana kecil.
Adapun unsur atau bagian-bagian
dari alat musik rawana terdiri dari;
mulut rawana atau lubang resonansi,
bodi atau badan rawana, pallapaq (pakolong atau kulit yang telah merekat ke badan
rawana disebut pallapaq), palliar atau tali stelan (kadang dari rotan atau
kabel besar), paku atau pasak (potongan bambu kecil dan paku tindis/ paku becak)
dan terakhir tali slempang yang dikaitkan di leher bila dipergunakan berdiri. Sedikit ditegaskan untuk
menghindari kekacauan pemaknaan, nanti disebut pallapaq
kalau kulit atau pakolong telah direkatkan ke bodi rawana.
Saat hendak
beranjak
meninggalkan kediaman beliau, kami menitipkan 1 kulit kambing yang tempo hari
kami beli di Tinambung untuk diolah persiapan jimbe Madatte Arts yang bolong. Mungkin
sebagai hadiah, Puaq Hasir memberi kami 1 kecapi bugis- satu-satunya kecapi
yang beberapa tahun lalu beliau buat. Berdebu dan lawa-lawangang. Tapi kami
gembira atas pemberian
ini.
Semoga bermanfaat!
Salu
Madatte, 8 Mei 2014
Ibnu Masyis
Ibnu Masyis