Kamis, 30 Maret 2017

PENJAGA TRADISI (Mengenal Puaq Hasir, Pembuat Rebana di Sekitaran Polewali)

PENJAGA TRADISI 
(Mengenal Puaq Hasir, Pembuat Rebana di Sekitaran Polewali)
Rebana Madatte Arts
Rebana buah tangan Puaq Hasir untuk RBN Madatte Arts (Foto by: Lukman)
Dimana pembuat rawana (baca: rebana)?  Pertanyaan ini kembali mencuat di Sekret Madatte Arts setelah sekian lama nyaris lupa diri menikmati 5 buah rawana pinjaman milik  kelompok Parrawana Nanaqeke Mane Tibaqbar Dusun Rea Jaya Kecamatan Matakali. Pertanyaan ini masih rangkaian panjang upaya pengadaan bertahap sebagai  solusi meminimalisir ribetnya pinjam kiri-kanan.  Demi Madatte Arts juga ke depannya!

Setelah tanya sana-sini,  akhirnya kami baru tahu kalau ternyata di sekitaran Polewali juga ada pembuat rawana. Agak penasaran juga karena selama ini, setiap membincang alat musik tradisional Mandar pasti acuannya ke Balanipa. Dari arahan saudara Sappe kami menuju Aribang: daerah yang lebih terkenal dengan dukun urut tulang patahnya. Ketenaran dukun ini kira-kira setara-lah dengan nama besar Kindoq Hebaq (mpu tulang patah) di Manding. 


Data yang kami pegang menuju Aribang hanya berupa 1 kalimat pendek dari saudara Sappe, “Ada pembuat rawana di Aribang.” Itu saja! Seingat saya, sampai 8-9 kali kami harus mampir bertanya dimana Aribang dan siapa pembuat rawana di Aribang? Menjelang maghrib baru-lah kami tiba dan bertemu orang yang dicari. 

Pertemuan pertama sangat singkat karena dijemput maghrib. Hanya sempat mengutarakan maksud untuk memesan 2 rebana ukuran besar. Tawar menawar harga hanya sekilas dan seadanya saja. Tak lama berbincang, kami mohon diri sembari menanyakan jalan pulang alternatif yang lebih dekat. Ternyata, dari jalan Poros Majene jarak tempuh lebih dekat kalau memilih belok di jalan Poros Basseang (Kantor Bupati Polman terus ke utara) menuju Aribang, daripada lewat Poros Bunga-Bunga yang terlalu berputar,  jauh dan banyak kelokan. Paling tidak jalan Poros Basseang lebih nyaman dan mulus. Melalui jalan Poros Basseang jalannya lurus saja sampai buntu di lapangan sepakbola Basseang lalu belok kiri lagi (kalau belok kanan menuju Beluwa tembus kantor Camat Anreapi). Setelah belok kiri, sekitar 50 meter dapat pos ronda sebelah kanan, kita belok tepat di samping pos ronda. Kurang lebih 30 meter ke dalam, kita belok kiri lagi dan langsung menyeberangi anak sungai dangkal. Selepas menyeberangi sungai kita dapati lagi pemukiman dan kira-kira sekitar 60 meter ke depan, carilah rumah di sisi kanan yang ada gardu penjualan di depannya. Terdapat banyak bunga dan berbagai macam tanamaan lain berwadahkan koker, itulah rumah  Pak Abd. Latif- pembuat rawana yang dimaksud di atas.  
Berselang  beberapa hari kemudian, kami kembali menemui Pak Abd. Latif. Kesan pertama, asyik juga berbincang dengan Puaq Hasir / Pak Abd. Latif karena beliau bukan orang yang pasif. Dari penuturan beliau kami tahu bahwa pria gempal beranak 2 dari istri yang bernama Syamsiah ini  sebenarnya pendatang dari Kamba’jawa Limboro. Beliau menetap di Aribang sejak tahun 1971. Umumnya masyarakat Aribang juga adalah pendatang dari Tinambung- Limboro yang rata-rata berprofesi sebagai petani dan pengolah gula merah. Artinya, di sekitaran Aribang banyak pohon enau atau manyang. Satu-satunya alat transportasi umum di wilayah ini hanyalah ojek. Nanti hari pasar- kemungkinan mengikuti atau mengacu pada Pasar Sentral Pekkabata, Selasa dan Jumat barulah mobil angkot masuk ke wilayah ini. Secara administrasi kami agak bingung dengan nama Aribang sebab menurut bapak kelahiran Batu, 31 Desember 1958 ini, wilayah tempatnya bermukim adalah Jalan Tabone Dusun Toyangan Desa Pasiang Kecamatan Matakali. Terus Aribang itu nama apa? Ternyata Aribang adalah dusun sebelah.
Selain berprofesi sebagai petani, bapak berusia 56 tahun ini juga sehari-harinya menekuni bidang pertukangan. Hampir semua perabot atau bagian rumah beliau yang terbuat dari kayu adalah hasil kerjanya. Imam Mesjid Duampanua sekaligus pemimpin kelompok rawana adalah sederet kegiatan yang menunjukkan bahwa beliau cukup terpandang di wilayah ini. Kendati beliau hanyalah tamatan SD (sekolah Dasar) dan termasuk alumni pertama SD Matakali. 

Tentang rawana, beliau mengisahkan bahwa di usia 16 tahun- tepatnya tahun 1975 beliau telah bergabung dalam kelompok rawana. Mengikuti kakak sepupu sekaligus guru rawana beliau yang bernama Sulle (Imam mesjid Tibakang Basseang kala itu), pertunjukan demi pertunjukan dilalui. Sayangnya, dari keseluruhan teman seperjuangan beliau bermain rawana di masa lampau, hanya tinggal Puaq Hasir seorang yang masih eksis bermain rawana hingga kini. Sehingga tak salah bila guru rawana beliau lebih memilih mewariskan rawana pusakanya yang berdiameter 60 cm kepada Puaq Hasir, ketimbang kepada putranya sendiri. Menurut Puaq Hasir, rawana sossorang (pusaka) pemberian gurunya tadi telah ada sebelum Puaq Hasir lahir. “Apakah karena usianya yang tua sehingga rawana tadi menjadi sossorang atau memang memiliki keistimewaan lain?” tanya kami. Beliau lalu menjawab, itu salah satunya. Keistimewaan lainnya, bila ada orang yang meniatkan atau berhajat untuk mengundang saya pergi bermain, terkadang rawana sossorang tadi berbunyi sendiri tanpa ada yang menyentuh. Luar biasa!

Rawana sangat identik dengan kebudayaan Islam. Bahkan Abdul Qadir Jaelani, salah satu tokoh Islam yang sangat dihormati, khususnya jamaah Tarikat Qadariah disebut-sebut sebagai “Wali Rebana.” Menurut Puaq Hasir, rawana  merupakan 1 kesatuan dengan musik gambus. Apalagi, boleh dikata lagu-lagu dan irama gambus memiliki kesamaan dengan lagu rawana. Selain sebagai sarana hiburan, rawana juga memiliki manfaat berdasarkan kasus yang dikisahkan oleh Puaq Hasir bahwa pernah suatu ketika, terdapat orang sakit di rumah orang yang melakukan hajatan. Awalnya orang menduga bahwa kebisingan rawana akan menggangu ketenangan/istirahat orang sakit keras tersebut. Tak disangka, ketika kelompok parrawana telah tiba dan mempertunjukkan aksinya, tuan rumah yang sakit tadi malah dapat duduk dan asyik menonton pertunjukan rawana tadi. Puaq Hasir lalu berpesan bahwa, jika ada orang yang berhajat atau meniatkan untuk memanggil parrawana mengisi pesta/ hajatan di rumahnya, lalu kemudian dibatalkan maka tuan rumah yang berhajat tadi akan jatuh sakit atau paling tidak perutnya akan kembung. Ditegaskan bahwa rawana bukan hanya sekedar menabuh dan bergoyang, ada ritual di dalamnya, ada nilai filosofis dan yang terpenting ada dzikir di dalamnya. Tidak ada rawana tanpa dzikir. Bacaan parrawana adalah kitab Barasanji. Ini yang mulai hilang dari parrawana karena beberapa kelompok rebana hari ini cenderung hanya fokus pada tabuhan dan formasi performance yang memukau. Padahal parrawana memiliki lagu wajib dan syair pembuka sebelum menabuh yang kesemuanya adalah dzikir. Hal ini pula-lah sehingga Puaq Hasir mengatakan kalau anda memang mau belajar marrawana, anda harus diceraq terlebih dahulu (ritual khusus) dan butuh waktu lama untuk bisa menjadi parrawana yang benar-benar parrawana yang sesungguhnya. Secara umum, ritual macceraq merupakan prosesi yang memang sering dilakukan masyarakat Mandar ketika akan memulai/ pertamakali menggunakan sesuatu, apalagi yang sifatnya ilmu pengetahuan.  Ritual ini dimaksudkan agar ilmu yang diajarkan dapat diterima dengan baik dan berberkah. Ada ketulusan dalam proses ini. Intinya menurut Puaq Hasir, tidak sembarang tempat mengambil dan tidak sembarang tempat menerima. Apa tidak mungkin bahwa bermain rawana sejatinya memiliki hubungan dengan tarian sufi Jalaluddin Rumi di Turki? Bukankah kopiah parrawana disebut juga dengan Sokkoq Turuki?
 
Puaq Hasir sedikit bercerita bahwa dulu, acara pappatammaq (khatam mengaji) didahului acara malam yang lebih penting sebelum keesokan harinya diarak keliling kampung dengan messawe saiyyang pattuqduq. Dapat dikatakan bahwa messawe hanyalah seremonial dari acara inti pada malam hari. Sebab sebelum dihibur oleh parrawana, acara malam dibuka dengan pembacaan ayat suci Al Quran sekaligus menuntaskan dan mengsahkan bahwa anak dari tuan rumah telah benar-benar khatam mengaji. Nah, setelah acara inti tadi, masuklah parrawana menghibur sampai tengah malam. Jangan membayangkan hiburan tunggal ini akan membosankan, sebab bila dilihat dari pembagian fungsi/ peran personel dalam 1 kelompok rawana, jelas terlihat adanya desain dinamika pertunjukan, kontrol tempo, keterlibatan penonton dan strategi menjaga mood para penikmat. Variasi paket hiburan yang ditawarkan parrawana dapat diurai sebagai berikut: 1) tabuhan yang beragam, 2) ada sesi makkalindaqdaq, 3) sesi lagu (dzikir), 4) ada paqdenggoq (ada unsur tarinya), 5) untuk sesi tengah malam, telah disiapkan teater rakyat yaitu lesa-lesang dan koa-koayang. Di sini dapat dilihat bahwa parrawana yang sesungguhnya mesti dibekali beragam keahlian dasar misalnya pencak silat dan kehalusan gerak layaknya penari.  

Berbekal pengalaman bermain rawana selama 39 tahun, Puaq Hasir dengan tegas menjawab keraguan akan masa depan parrawana bahwa, “Selama masih ada saiyyang pattuqduq, selama itu pula-lah parrawana tetap ada.” Ketika kami bertanya kepada beliau, “Adakah niat untuk berhenti marrawana?” Beliau menjawab dengan sedikit tersenyum, “Tidak ada. Bahkan kalau lagi sendiri di rumah, saya ambil rawana dan memainkannya sendiri.” Totalitas, begitu kami memaknainya. Kecintaan terhadap rawana itu jugalah yang kemudian membuat Puaq Hasir berinisiatif mendirikan kelompok rawana di Aribang. Sebenarnya kelompok ini telah lama terbentuk, tapi nanti tahun 2008 baru diberi nama secara resmi mengikuti aturan administrasi suatu pertunjukan di Tapango kala itu. Ditetapkanlah Al Ikhwan sebagai nama kelompok tersebut. Anggota parrawana Al Ikhwan berjumlah 12 orang dengan usia berkisar 15-30 tahun. Sebagai upaya kaderisasi, anggota Al Ikhwan dikelaskan lagi berdasarkan usia (anak-anak dan remaja-dewasa). Tanpa diminta, beliau lalu memperlihatkan  2 foto pertunjukan kelompok Al Ikhwan. Foto yang 1 agak kusam dan merupakan foto tua bergambar beberapa parrawana nanaqeke yang kemudian di foto yang satunya lagi sudah dewasa berpose dengan kostum khas parrawana. Kami sempat menanyakan tips sehingga masih ada anak muda yang berminat dan bertahan bermain rawana. Beliau menjawab bahwa terkadang kita yang harus mengikuti kemauan mereka yang lebih muda. 

Memang bagaimana tahapan belajar marrawana? tanya kami. Puaq Hasir menjelaskan bahwa setelah diceraq, tahapan berikutnya adalah penjelasan tentang sejarah (tentang sejarah, sedikit banyak akan sampai dan dibahas tentang Wali dan Rasulullah), setelah itu pemahaman tentang makna/ maksud/ simbol yang terkandung dalam permainan rawana, selanjutnya teknik dan macam-macam tabuhan atau deqdeq, kemudian lanjut pada lagu atau dzikir (deqdeq dan dzikir diajarkan bergantian atau selang-seling), terakhir adalah pemantapan yang di dalamnya terdapat banyak variasi dalam pertunjukan rawana misalnya, denggoq, koa-koayang dan pallesa-lesang. 

Tepat tahun 1990, Puaq Hasir mencoba membuat rawana untuk pertama kalinya. Beliau memperlihatkan rawana yang pertama dibuat berdiameter kira-kira 50 cm dan merupakan rawana terbaik yang pernah beliau buat. Rawana yang terbuat dari kayu nangka tersebut merupakan rawana kesayangan setelah rawana sossorang yang telah dijelaskan di atas. Kalau rawana sossorang tidak akan pernah dijual, tetapi rawana kayu nangka ini hanya akan dijual tidak di bawah Rp 500.000. Padahal rawana yang lebih besar yang kami pesan berdiameter 60 cm hanya dihargai Rp 300.000. Rawana kesayangan Puaq Hasir memang terlihat lebih elegan dan mewah.  

Sekedar tambahan bahwa kendati tidak ada standar paten tentang ukuran besar-kecilnya rawana tetapi Puaq Hasir berpendapat rata-rata rawana berukuran antara 30-70 cm. Tingkatan atau selisih diameter per rawana tergantung si pembuat atau pemesan karna terkadang ada juga pembuat rawana yang mematok selisih 2 cm per rawana. Adapun harga rawana dipatok antara Rp 150.000 s/d Rp 600.000. Sedangkan bila kita memesan rawana langsung 1 set yang berjumlah 10 buah dengan ukuran bertingkat, Puaq Hasir mematok harga Rp 3.500.000. Ada beberapa  faktor yang mempengaruhi perbedaan harga per rawana antara lain; ukuran besar kecilnya rawana dan jenis kayunya. Lanjut beliau, kayu terbaik dan umum dipakai membuat rawana adalah kayu nangka, sendana dan panggoriq. Sedangkan kayu berkualitas rendah adalah kayu durian. Bila dinominalkan, selisih kayu nangka dengan kayu durian bisa mencapai Rp 200.000. Begitu jelas perbedaan kualitasnya. 

Ditanya perihal bagian tersulit dalam pembuatan rawana, beliau menjelaskan bahwa yang berhubungan dengan kayu-lah yang tersulit. Mulai dari pengambilan kayu di gunung, jasa tukang senso sudah membutuhkan upah Rp 50.000 per batang kayu. Penderitaan dimulai ketika potongan kayu tadi digelinding menuruni punggung gunung lalu dipikul. Memikul sendiri potongan kayu merupakan perjuangan terberat. Setelah berada di jalan setapak barulah potongan kayu tadi diangkut motor menuju rumah Puaq Hasir. Dalam proses pembuatan atau pembentukan batang kayu menjadi badan/ bodi rawana, alat pertukangan yang dipakai antara lain pahat, bor, parang dan kattang. Kalau semua bahan telah siap, proses pembentukan bodi rawana biasanya hanya memakan waktu 1-3 hari. Adapun kesulitannya karna potongan batang kayu tadi bagian tengahnya dibentuk dengan cara  dilubangi terlebih dahulu (makkaloqdoqi atau mattombong) menggunakan pahat atau bor. Jenis kayu sangat menentukan kesukaran dan lamanya pembentukan bodi. Tapi yang pasti, daya tahan dan penampilan eksklusif terlihat dari jenis kayu yang digunakan. Selain jenis kayu, kualitas bunyi yang dihasilkan juga berdasar pada lebar mulut atau lubang resonansi, tebal tipisnya bodi dan keseimbangan lubang resonansi dari tiap sisinya. Biasanya rawana yang  bodinya agak tebal/ tinggi diukur dari kulit hingga lubang resonansi menghasilkan bunyi yang agak ngebass atau mambo, sedangkan  rawana yang  bodinya agak tipis bunyinya sedikit runcing. 

Tahapan pembuatan rawana dapat dibagi dalam 2 unsur dasar  yaitu 1) batang kayu: melubangi bagian tengah kayu, pembentukan bagian luar bodi agar bundar menggunakan kattang, membentuk variasi  atau lekukan, membuat lubang kecil sepanjang sisi luar untuk menancapkan pasak atau paku agar kulit dapat menempel ke bodi. 2) kulit (pakolong): mengeringkan kulit di panas matahari sekitar 1-2 minggu dengan menghindari hujan dan ditaruh di tempat aman yang terhindar dari jilatan anjing, membersihkan bulu tidak sampai 1 jam dengan pisau atau parang tajam, rendam di air selama 2 hari (sampai 3 hari direndam, kulit akan hancur atau rapuh/ mando). Kulit dipasang atau direkatkan ke bodi ketika kulit masih basah biar mudah ditarik untuk mengencangkan. Setelah kulit telah terpasang di bodi rawana, proses pengeringan kulit cukup di ruang tertutup saja atau tidak dijemur lagi di bawah sinar matahari. Keseluruhan proses di atas hanya memakan waktu 3 hari – 1 minggu sampai rawana telah siap ditabuh (di luar proses pengeringan pakolong/ kulit). 

Ketelitian saat pembentukan bodi sangat diperlukan karna mempengaruhi kualitas. Hanya dengan melihat jenis kayu,  kulit, keseimbangan/ rata tiap sisi, lubang atau mulut resonansi tepat di tengah, posisi kulit dan lekuk pada bodi, kita sudah dapat mengetahui kualitas rawana. 

Untuk jenis kulit atau pakolong, idealnya kulit berkualitas kriterianya sebagai berikut;  kulit kambing betina, berusia tua atau telah pernah mengandung maksimal 3 kali, memiliki bintik merah-putih atau paling tidak balo (berwarna belang minimalis). Ras kambing juga diperhatikan karena kulit kambing biasa, ternyata lebih berkualitas dibanding ras kambing donggala yang besar itu. Tebal-tipisnya kulit turut mempengaruhi bunyi yang dihasilkan dan kulit kambing donggala lebih tebal padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah kulit kambing yang tipis. Ada pengecualian terhadap rawana kecil buat anak-anak karena memang bunyi yang ngebass yang dibutuhkan sehingga kulit kambing donggala tidak masalah buat rawana kecil. Tidak jauh beda dengan kualitas kayu, pilihan kulit berkualitas juga sangat mempengaruhi daya tahan serta kualitas bunyi.

Sebagai Imam Mesjid, Pak Abd. Latif atau Puaq Hasir terkadang tidak perlu membeli kulit kambing ke penjagal atau ke tempat pemotongan hewan karna biasanya bila ada hajatan aqiqah, Imam sekaligus panggereq (pemotong) hewan sering dihadiahi pakolong atau kulit kambing yang dipotong. Rata-rata dalam setiap produksi rawana yang dilakukan, Puaq Hasir bekerja sendiri. Kalaupun meminta bantuan orang lain, paling pada saat mallapaq atau merekatkan kulit ke bodi rawana karna harus ada yang menarik kencang kulit dan yang lain memaku. 

Rawana juga memiliki pola atau jenis ragam pukulan. Untuk hal ini, Puaq Hasir membaginya dalam 10 jenis deqdeq atau pukulan antara lain; 1) deqdeq pambukaq (pembuka), 2) deqdeq kanjar, 3) deqdeq tallu-tallu, 4) deqdeq panette, 5) deqdeq bonang, 6) deqdeq dangdut, 7) deqdeq satu-satu atau penutup (poin 8-10 Puaq Hasir lupa namanya). Pertunjukan rawana sangat bergantung pada acara-acara tertentu. Parrawana biasanya ditampilkan pada acara pernikahan untuk metindor/ mengantar mempelai pria, acara maulid/ pappatammaq atau saiyyang pattuqduq dan acara penyambutan. Untuk acara metindor, biasanya deqdeq dangdut dan kanjar yang menjadi prioritas. Sedangkan untuk acara pappatammaq, deqdeq bonang adalah deqdeq wajib walau sering juga dikolaborasi dengan deqdeq-deqdeq yang lain. Masing-masing hajatan di atas memiliki karakteristik tersendiri dalam penyajian hiburan rawananya. Paling tidak, pada prosesi mappatammaq, dibutuhkan kalindaqdaq yang rada mattere para pessawe. Akibat seringnya bersentuhan dengan ketiga acara di atas sehingga para parrawana sudah hafal bahwa mendekat ramadhan itu musim nikah, acara penyambutan atau seremonial daerah biasanya agustusan atau akhir tahun di ajang Festival Budaya Kab. Polewali Mandar. Berbicara honor parrawana berkisar antara Rp 500.000 – Rp 700.000. ketika ditanya pertunjukan yang paling berkesan selama bermain rebana, Puaq Hasir berkisah, pernah ketika diundang bermain untuk mengantar mempelai pria ke rumah mempelai wanita di Pulau Battoa. Selain harus berjalan mengitari daerah perbukitan di pulau tersebut, perahu yang mereka tumpangi juga hampir tenggelam. Kesan yang memicu adrenalin ternyata. 

Dalam perjalanan karir produksi rawananya, kurang lebih sekitar 50 buah rawana yang telah dibuat. Rata-rata pertahunnya agak sulit dihitung tapi pemesanan terfantastis terjadi pada tahun 2013 ketika Disbudpar Polman menjalankan program bantuan alat tradisional kepada Sanggar/ Komunitas atau Kelompok Kesenian yang terdaftar. Saat itu, beliau mengerjakan sekitar 30 buah rawana. Rata-rata pemesan rawana yang dikerjakan Puaq Hasir datang dari kelompok rebana dari Madatte, Rea Barat atau Desa Patampanua bahkan dari Mammi juga pernah datang. Selain  mengikuti naluri pertukangan yang memang digeluti, selera dan kualitas rawana dari Puaq Hasir tak diragukan lagi. Kecintaan terhadap rawana juga dapat dilihat disitu. Bahkan, Mak Cammana- maestro parrawana towaine dari Limboro kalau mendapat undangan tampil di Polewali, tak jarang meminjam atau memakai rawana Puaq Hasir. Apalagi beliau masih terikat pertalian darah. Dapat dikatakan bahwa rawana adalah bakat turunan dari keluarga besar beliau, mengingat tak sedikit family Puaq Basir juga yang mengisi skuad kelompok rawana Al Ikhawan yang dibinanya.  

Tidak berbeda dengan para mpu-mpu lain dalam dunia kesenian tradisional Mandar, prosesi maqundungngi atau ritual khusus juga kerap dilakukan oleh Puaq Hasir. Ketika hendak atau mendapat  undangan mentas, ritual maqundungngi rawana dilakukan dengan tata cara, rawana sossorang yang dijelaskan di atas diundungngi lebih dulu lalu diikuti rawana yang lain. Ada penegasan bahwa rawana sossorang wajib diundungngi sebelum dipakai. Dengan penuh kesadaran sebagai seorang Imam Mesjid beliau menegaskan bahwa prosesi tadi bukan musrik. Menurut beliau, rawana yang telah diundungngi akan memiliki bunyi yang lebih bagus dan tentu saja menarik perhatian orang. Hanya saja, kualitas bunyi juga harus ditopang dengan keahlian- teknik bermain dan juga perawatan. Tentang perawatan rawana, intinya hindari air atau suhu lembab. Jika suhu lembab tak dapat dihindari misalnya bermain outdoor dan itu malam hari, cara menyiasatinya adalah menggunakan 2 tali stelan atau palliar yang lebih besar. Kualitas bunyi sangat tergantung pada kendor-tegangnya kulit rawana atau pallepe. Dan semakin tinggi suhu atau panas maka semakin kencang juga kulit rebana. Cara menyimpan rawana yang paling bagus adalah digantung, jangan diletakkan sembarangan. Alasan logis paling tidak terhindar dari tikus. Setelah rawana habis digunakan, langsung kendorkan lagi palliarnya atau tali stelannya. Dan yang pasti, rawana yang berukuran besar memiliki bunyi yang mendengung dengan resonansi yang panjang. Sangat berbeda dengan rawana kecil. 

Adapun unsur atau bagian-bagian dari alat musik rawana terdiri dari; mulut rawana atau lubang resonansi, bodi atau badan  rawana, pallapaq (pakolong atau kulit yang telah merekat ke badan rawana disebut pallapaq), palliar atau tali stelan (kadang dari rotan atau kabel besar), paku atau pasak (potongan bambu kecil dan paku tindis/ paku becak) dan terakhir tali slempang yang dikaitkan di leher bila dipergunakan berdiri. Sedikit ditegaskan untuk menghindari kekacauan pemaknaan,  nanti disebut pallapaq kalau kulit atau pakolong telah direkatkan ke bodi rawana. 

Saat hendak beranjak meninggalkan kediaman beliau, kami menitipkan 1 kulit kambing yang tempo hari kami beli di Tinambung untuk diolah persiapan jimbe Madatte Arts yang bolong. Mungkin sebagai hadiah, Puaq Hasir memberi kami 1 kecapi bugis- satu-satunya kecapi yang beberapa tahun lalu beliau buat. Berdebu dan lawa-lawangang. Tapi kami gembira atas pemberian ini.
Semoga bermanfaat!

Salu Madatte, 8 Mei 2014
Ibnu Masyis