“Apakah Tuhan memang
menakdirkan Cicci sebagai satu-satunya wilayah yang tak dapat kukuasai? Hahahahaha, Tidak! Tuhan menakdirkan saya sebagai Maraqdia, dan jabatan ini
menjadikan saya berhak memiliki apapun yang saya mau!”
Kurang
lebih seperti itu penggalan kutipan dialog pelakon Daeng Caya di pementasan
teater berjudul “Toqdoq” oleh teman-teman sanggar teater Madatte Arts. Pementasan
yang rencananya dilaksanakan di GOR S. Mengga Polewali jelang akhir tahun ini.
Tulisan
ini saya buat sebagai bentuk penghargaan atau hadiah kecil buat kawan-kawan di
Madatte di Miladnya yang pertama (kado kapang).
Menarik
melihat proses kreatif pementasan teater “Toqdo” teman-teman penggiat seni ini.
Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, alur cerita yang dibangun seakan
menggambarkan wajah kekinian Indonesia. Namun menariknya wajah kontemporer itu dibalur
dalam bingkai tradisi yang tidak hanya melukiskan ruang histori kesejarahan
walau hanya bebentuk fiksi, tetapi bagi saya pementasan ini telah mengerjap
melompati konteks yang harusnya berkisah tentang kenangan dan kejayaan akan
lampau tetapi meruang kembali dalam wacana Indonesia hari ini.
Proses latihan lakon Toqdoq di sekret Madatte Arts |
Melirik
konteks interest kekinian yang saya maksud dalam lakon tersebut, terlihat dari
tema sentral yang dibangun sebagai paso’ carita (baca; tema utama) dalam
pementasan teater ini dan diksi budaya sebagai paso’ carita itu bernama poligami
yang kemudian menjadi menarik setelah dibumbui dengan intrik
politik jelang suksesor kepala daerah (baca; tahta amara’diangang).
Poligami sebagai
budaya?
Apakah
poligami juga merupakan budaya? Atau lebih jauh, poligami telah membudaya?
Atau sama saja ketika kita menganggap bahwa korupsi itu adalah budaya? mencuri
itu adalah budaya? Menarik kemudian kita melirik fenomena Aceng Sang Bupati
Garut, atau Rhoma Irama Sang Raja Dangdut ataupun fenomena Syeh Puji seorang
pesohor pelakon poligami yang kemudian terpenjara hukum karena tindakannya atas
tuduhan mengeksploitasi dengan menikahi anak dibawah umur menurut kajian legal
positif.
Aceng
yang kemudian tersandera politik dituntut mundur dari tahta bupatinya oleh
lawan politik dan warganya sendiri atau Rhoma Irama yang berani menawarkan diri
sebagai calon Presiden 2014 dengan alasan memiliki elektabilitas (baca; erektabilitas)
yang tinggi.
Dalam
kajian ento-histografy, pada dasarnya poligami merupakan produk budaya yang
sudah sangat tua. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu hadir
semenjak manusia lahir di muka bumi ini, yaitu tatkala bapak poligami manusia,
Qabil anak Nabi Adam As. mengawini dua saudarinya setelah membunuh Habil
adiknya. Lalu masihkah kita mempertanyakan bahwa poligami itu bukan budaya?
Seiyanya
kita sependapat bahwa budaya merupakan pola hayat (baca; membudaya) yang
lahir diawali melalui proses kekaryaan yang berlangsung beribu bahkan berjuta
tahun sejak lampau, yang diolah melalui olah rasa, olah karsa dan
olah cipta yang menghasilkan suatu mahakarya dalam hal ini poligami!
Saya bukan pelaku poligami dan bukan juga pendukung poligami bahkan saya masih
bujang, tetapi saya ingin mendebat hal ini, bahwa bukankan setiap budaya lahir
dari spirit rasa, karsa dan cipta, yang kesemuanya bersumber dari nilai bijak
dan nilai cinta? mengutip Pram, "Lalu,
apakah poligami itu bijak? Benarkah Poligami punya cinta?"
Disinilah
letak kontemporer terma poligami, yang menjadikannya terma yang sangat menarik
untuk diperbincangkan. Terlepas dari perdebatan dialogis yang mati-matian
didengungkankan oleh para penganut feminis yang mengkritisi tentang mengapa
hanya lelaki yang berhak memiliki pasangan lebih dari satu, dan mengapa wanita
tidak bisa melakukan hal yang sama yaitu dengan berpoliandri, bersuamikan lebih
dari satu pula.
Dan
kemudian yang menjadi alibi atas berpolindri itu dilarang, dikarenakan
ketakutan akan ketidakjelasan status ayah atas seorang anak yang memiliki ibu
bersuamikan lebih dari satu, itu mungkin dulu. Ketika alat kontrasepsi semisal
kondom, spiral atau pil KB belum ditemukan seperti sekarang. Hahahaha gila
bener tuh feminist.
Tetapi
bagi saya, kontroversi atas boleh tidaknya poliandri dilakukan pada dasarnya vis
a vis ketika kita mendebat persoalan poligami sendiri. Karena dalam
sejarah peradaban, poliandri memang pernah dilegalkan, yaitu suatu masa zaman Faraoh,
di Mesir kuno pasca teknologi masyakatnya telah berkembang. Dimana mereka telah
menemukan pil anti hamil dari fermentasi kotoran buaya dan kemudian menjadikan
treeger kegiatan poliandri dilegalkan secara sadar oleh masyarakat sosial
setempat pada saat itu. Artinya pelegalan atas poliandri tidaklah
didasari oleh temuan teknologi semisal alat kontrasepsi atau teknologi
penelusuran DNA, tetapi lebih kepada penilaian masyarakat atas etis atau tidak
etis, moral ataupun amoral yang dibangung oleh consensus sosialnya sendiri. Teknologi
hanya merupakan pemicu atas sikap permisif masyarakat atas poliandri sebagai
embrio budaya.
Daeng Caya tertular ACENG Sindrom
“Lelaki yang
dibutakan kekuasaan dan memandang poligami, seenteng membeli dua jenis ikan
yang berbeda,” (Dialog Daeng Towaine, istri madu Daeng Caya).
Tokoh
Daeng Caya dalam pementasan ini memiliki cerita yang hampir mirip dengan kisah
afiksi di panggung politik kabupaten Garut Jawa Barat. Tersebutlah kisah Aceng
Fikri Sang Bupati Garut yang juga melakoni poligami. Entah Aceng atau Daeng
Caya yang lebih dahulu lahir, entah Aceng yang berguru poligami kepada Daeng
Caya, atau sebaliknya Daeng Caya yang tertular Sindrom Aceng yang
melakukan poligami, itu tidak penting. Yang terpenting bahwa keduanya memiliki
kesamaan, sama-sama beristri lebih dari satu (pelaku poligami), dan kedua,
sama-sama sebagai pemegang tampuk kuasa memerintah (Mara’dia dan Bupati) dan
keduanya harus hidup dalam intrik politik serta konflik interest yang terus
membayangi mereka
Bahwa
poligami kemudian tidaklah harus selalu dimaknai kemampuan dalam memenej cinta
secara adil, ataupun lebih kepada bagaimana memainkan sebuah topeng yang
hidungnya belang mengobral cinta, membohongi yang satu dan mengelabui yang
satunya lagi, namun lebih jauh dari itu dimana poligami adalah suatu kajian
budaya yang konfleks yang tidak hanya melibatkan cinta sepasang sejoli dalam
suatu panggung dramanya, namun lebih menggambarkan bentuk cinta yang segitiga,
atau cinta segiempat, segilima, segienam, dst, tergantung pelaku punya istri
berapa.
Akan
lebih proporsional ketika kita memaknai “maklumi” bahwa pelaku poligami adalah
orang yang hebat, mewarisi simbol kejantanan, keperkasaan karena mampu
melakukan peran yang banyak di setiap panggung drama, dari tiap istri dan
selir-selirnya, interest sosialnya dalam kehidupan masyarakat seperti
kisah-kisah kerajaan masa lampau.
Pelaku
poligami adalah mereka yang memiliki elo, reso dan eco dalam kajian
tradisi Mandar dan mungkin telah menjadi hukum alam bahwa seorang lelaki yang
memiliki tingkat kecerdasan dan kebijaksanaan diatas rata-rata (Pejantan
Hebat), juga memiliki libido yang tinggi, artinya kecenderungan melakukan
poligami lebih besar, karena syahwat itu selalu berjalan searah, dimana syahwat
politik (elo), syahwat ekonomis (reso) dan syahwat biologis (eco)
ketiganya merupakan etos yang linear dan saling mendukung membumikan satu
dengan yang lain.
Terakhir,
sebelum saya tutup, bahwa:
Teruslah menjaga api
lilin itu…
Membumikan ruang
itu…,
Menularkan spirit
melestari itu…,
Meruncingkan daya
kritis serta idealis itu….,
Dikian
detik-menit-jam-hari-minggu-bulan-tahun…
Tenggelam tergerusnya
artefak itu…
Demi litaqmu…. Demi
litaq kita,,, INDONESIA
“Lalu, Apakah Daeng
Caya mampu mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala daerah (baca; mara’dia),
menurunkan tahta dan melanjutkan dinasti kekuasaannya sebagai mara’dia?”
“Ataukah harus
bernasib sama seperti Aceng Fikri yang terus dituntut mundur oleh
warganya karena tindakannya yang tidak etis dengan melecehkan Rani Okta (baca;
Cicci)?”
“Maka tunggu aku
dalam satu purnama,… Akukan meminangmu,, Cicci!!!”,,,,… hahayy..
MENARIK UNTUK KITA
SAKSIKAN….
Ditulis oleh:
Nail Kautsar sebagai kado buat Madatte Arts di miladnya yang pertama
2012
Ditulis oleh:
Nail Kautsar sebagai kado buat Madatte Arts di miladnya yang pertama
2012