Selasa, 18 April 2017

SEBUAH KADO DI MILAD I MADATTE ARTS



PANGGIL AKU DAENG CAYA
"Aceng Fikri vs Daeng Caya, Serupa Tapi Tak Seruang"


“Apakah Tuhan memang menakdirkan Cicci sebagai satu-satunya wilayah yang tak dapat kukuasai? Hahahahaha, Tidak! Tuhan menakdirkan saya sebagai Maraqdia, dan jabatan ini menjadikan saya berhak memiliki apapun yang saya mau!”

         Kurang lebih seperti itu penggalan kutipan dialog pelakon Daeng Caya di pementasan teater berjudul “Toqdoq” oleh teman-teman sanggar teater Madatte Arts. Pementasan yang rencananya dilaksanakan di GOR S. Mengga Polewali jelang akhir tahun ini.

       Tulisan ini saya buat sebagai bentuk penghargaan atau hadiah kecil buat kawan-kawan di Madatte di Miladnya yang pertama (kado kapang).


Menarik melihat proses kreatif pementasan teater “Toqdo” teman-teman penggiat seni ini. Entah ini hanya kebetulan atau disengaja, alur cerita yang dibangun seakan menggambarkan wajah kekinian Indonesia. Namun menariknya wajah kontemporer itu dibalur dalam bingkai tradisi yang tidak hanya melukiskan ruang histori kesejarahan walau hanya bebentuk fiksi, tetapi bagi saya pementasan ini telah mengerjap melompati konteks yang harusnya berkisah tentang kenangan dan kejayaan akan lampau tetapi meruang kembali dalam wacana Indonesia hari ini.
Proses latihan lakon Toqdoq di sekret Madatte Arts
Divisi Teater Madatte Arts saya anggap cerdas dalam menerjang ruang-ruang ide lalu kemudian membangun alur yang memainkan intonasi rasa serta tempo emosi, menghidupkan teks-teks dalam kertas naskah sehingga ketika menikmatnya seolah hadir di tengah-tengah panggung bersama para pelakon itu.

Melirik konteks interest kekinian yang saya maksud dalam lakon tersebut, terlihat dari tema sentral yang dibangun sebagai paso’ carita (baca; tema utama) dalam pementasan teater ini dan diksi budaya sebagai paso’ carita itu bernama poligami yang kemudian  menjadi menarik setelah dibumbui dengan intrik politik jelang suksesor kepala daerah (baca; tahta amara’diangang).

Poligami sebagai budaya?

Apakah poligami juga merupakan budaya? Atau lebih jauh, poligami telah membudaya? Atau sama saja ketika kita menganggap bahwa korupsi itu adalah budaya? mencuri itu adalah budaya? Menarik kemudian kita melirik fenomena Aceng Sang Bupati Garut, atau Rhoma Irama Sang Raja Dangdut ataupun fenomena Syeh Puji seorang pesohor pelakon poligami yang kemudian terpenjara hukum karena tindakannya atas tuduhan mengeksploitasi dengan menikahi anak dibawah umur menurut kajian legal positif.

Aceng yang kemudian tersandera politik dituntut mundur dari tahta bupatinya oleh lawan politik dan warganya sendiri atau Rhoma Irama yang berani menawarkan diri sebagai calon Presiden 2014 dengan alasan memiliki elektabilitas (baca; erektabilitas) yang tinggi.

Dalam kajian ento-histografy, pada dasarnya poligami merupakan produk budaya yang sudah sangat tua. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa poligami itu hadir semenjak manusia lahir di muka bumi ini, yaitu tatkala bapak poligami manusia, Qabil anak Nabi Adam As. mengawini dua saudarinya setelah membunuh Habil adiknya. Lalu masihkah kita mempertanyakan bahwa poligami itu bukan budaya?

Seiyanya kita sependapat bahwa budaya merupakan pola hayat (baca; membudaya) yang lahir diawali melalui proses kekaryaan yang berlangsung beribu bahkan berjuta tahun sejak lampau, yang diolah melalui olah rasa, olah karsa dan olah cipta yang menghasilkan suatu mahakarya dalam hal ini poligami! Saya bukan pelaku poligami dan bukan juga pendukung poligami bahkan saya masih bujang, tetapi saya ingin mendebat hal ini, bahwa bukankan setiap budaya lahir dari spirit rasa, karsa dan cipta, yang kesemuanya bersumber dari nilai bijak dan nilai cinta? mengutip Pram, "Lalu, apakah poligami itu bijak? Benarkah Poligami punya cinta?"

Disinilah letak kontemporer terma poligami, yang menjadikannya terma yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Terlepas dari perdebatan dialogis yang mati-matian didengungkankan oleh para penganut feminis yang mengkritisi tentang mengapa hanya lelaki yang berhak memiliki pasangan lebih dari satu, dan mengapa wanita tidak bisa melakukan hal yang sama yaitu dengan berpoliandri, bersuamikan lebih dari satu pula.

Dan kemudian yang menjadi alibi atas berpolindri itu dilarang, dikarenakan ketakutan akan ketidakjelasan status ayah atas seorang anak yang memiliki ibu bersuamikan lebih dari satu, itu mungkin dulu. Ketika alat kontrasepsi semisal kondom, spiral atau pil KB belum ditemukan seperti sekarang. Hahahaha gila bener tuh feminist.

Tetapi bagi saya, kontroversi atas boleh tidaknya poliandri dilakukan pada dasarnya vis a vis  ketika kita mendebat persoalan poligami sendiri. Karena dalam sejarah peradaban, poliandri memang pernah dilegalkan, yaitu suatu masa zaman Faraoh, di Mesir kuno pasca teknologi masyakatnya telah berkembang. Dimana mereka telah menemukan pil anti hamil dari fermentasi kotoran buaya dan kemudian menjadikan treeger kegiatan poliandri dilegalkan secara sadar oleh masyarakat sosial setempat pada saat itu.  Artinya pelegalan atas poliandri tidaklah didasari oleh temuan teknologi semisal alat kontrasepsi atau teknologi penelusuran DNA, tetapi lebih kepada penilaian masyarakat atas etis atau tidak etis, moral ataupun amoral yang dibangung oleh consensus sosialnya sendiri. Teknologi hanya merupakan pemicu atas sikap permisif masyarakat atas poliandri sebagai embrio budaya.

Daeng Caya tertular ACENG Sindrom

“Lelaki yang dibutakan kekuasaan dan memandang poligami, seenteng membeli dua jenis ikan yang berbeda,” (Dialog Daeng Towaine, istri madu Daeng Caya).

Tokoh Daeng Caya dalam pementasan ini memiliki cerita yang hampir mirip dengan kisah afiksi di panggung politik kabupaten Garut Jawa Barat.  Tersebutlah kisah Aceng Fikri Sang Bupati Garut yang juga melakoni poligami. Entah Aceng atau Daeng Caya yang lebih dahulu lahir, entah Aceng yang berguru poligami kepada Daeng Caya, atau sebaliknya Daeng Caya yang tertular Sindrom Aceng yang melakukan poligami, itu tidak penting. Yang terpenting bahwa keduanya memiliki kesamaan, sama-sama beristri lebih dari satu (pelaku poligami), dan kedua, sama-sama sebagai pemegang tampuk kuasa memerintah (Mara’dia dan Bupati) dan keduanya harus hidup dalam intrik politik serta konflik interest yang terus membayangi mereka

Bahwa poligami kemudian tidaklah harus selalu dimaknai kemampuan dalam memenej cinta secara adil, ataupun lebih kepada bagaimana memainkan sebuah topeng yang hidungnya belang mengobral cinta, membohongi yang satu dan mengelabui yang satunya lagi, namun lebih jauh dari itu dimana poligami adalah suatu kajian budaya yang konfleks yang tidak hanya melibatkan cinta sepasang sejoli dalam suatu panggung dramanya, namun lebih menggambarkan bentuk cinta yang segitiga, atau cinta segiempat, segilima, segienam, dst, tergantung pelaku punya istri berapa.

Akan lebih proporsional ketika kita memaknai “maklumi” bahwa pelaku poligami adalah orang yang hebat, mewarisi simbol kejantanan, keperkasaan karena mampu melakukan peran yang banyak di setiap panggung drama,  dari tiap istri dan selir-selirnya, interest sosialnya dalam kehidupan masyarakat seperti kisah-kisah kerajaan masa lampau.

Pelaku poligami adalah mereka yang memiliki elo, reso dan eco dalam kajian tradisi Mandar dan mungkin telah menjadi hukum alam bahwa seorang lelaki yang memiliki tingkat kecerdasan dan kebijaksanaan diatas rata-rata (Pejantan Hebat), juga memiliki libido yang tinggi, artinya kecenderungan melakukan poligami lebih besar, karena syahwat itu selalu berjalan searah, dimana syahwat politik (elo), syahwat ekonomis (reso) dan syahwat biologis (eco) ketiganya merupakan etos yang linear dan saling mendukung membumikan satu dengan yang lain.

Terakhir, sebelum saya tutup, bahwa:

Teruslah menjaga api lilin itu…
Membumikan ruang itu…,
Menularkan spirit melestari itu…,
Meruncingkan daya kritis serta idealis itu….,
Dikian detik-menit-jam-hari-minggu-bulan-tahun…
Tenggelam tergerusnya artefak itu…
Demi litaqmu…. Demi litaq kita,,, INDONESIA

“Lalu, Apakah Daeng Caya mampu mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala daerah (baca; mara’dia), menurunkan tahta dan melanjutkan dinasti kekuasaannya sebagai mara’dia?”
“Ataukah harus bernasib sama seperti  Aceng Fikri yang terus dituntut mundur oleh warganya karena tindakannya yang tidak etis dengan melecehkan Rani Okta (baca; Cicci)?”

“Maka tunggu aku dalam satu purnama,… Akukan meminangmu,, Cicci!!!”,,,,… hahayy..

MENARIK UNTUK KITA SAKSIKAN….


Ditulis oleh:
Nail Kautsar sebagai kado buat Madatte Arts di miladnya yang pertama
2012