Rabu, 26 April 2017

LITERASI KUNO



SEKILAS TENTANG  LONTARA

Madatte Arts Lontara
Salinan Lontara Mandar (Foto: Muh. Ibnu Masyis)

"Kita tidak mencontek lontara Makassar, tapi kita juga mempelajarinya. Kendati aksara yang kita gunakan sama," kira-kira seperti itu penjelasan Pak Abdul Muthalib, sesepuh Mandar  yang banyak mengkaji tentang linguistik  ketika bertemu di kediaman beliau di Makassar sekitar tahun 2006.

Secara umum lontara dapat dipahami sebagai kegiatan literasi yang berbentuk dokumen berisi catatan atau peristiwa penting dalam suatu kerajaan. Lontara  diproduksi oleh kalangan istana lalu disimpan dan kemudian dibaca  oleh kalangan istana sendiri. Menurut kanda Zulfihadi sebagai seorang penggiat sejarah dan keturunan Passure' (pembaca lontara), paling prinsip lontara dibacakan kalangan istana perihal silsilah untuk penentuan status sosial seseorang. Lontara dibuka disesuaikan dengan acara yang berlangsung misalnya acara lamaran, upacara ritual, maupun acara istana lainnya. Adapun kepentingan masyarakat biasa pada lontara, hanya pada penentuan aktivitas berupa waktu turun tanam dan sebagainya. Jadi warga  menemui abdi istana yang memegang buku besar atau lontara hanya sebagai pendengar di saat lontara sedang dibacakan.  Tradisi itulah mungkin sehingga sampai hari ini lontara tetap menjadi hal tabu bagi orang biasa. Lontara adalah milik istana, demikian kesimpulannya.

Madatte Arts Lontara
Lontara Kerajaan Sendana di Puttada (Foto: Koleksi MSI Sulbar)

Media tulis lontara diambil dari daun pohon lontar atau tal yang merupakan tumbuhan jenis palem yang banyak tumbuh di daerah kering.  Lebar daun yang digunakan kira-kira 2 cm dengan panjang berkisar kurang lebih 1 meter. Biasanya daun lontar yang siap ditulisi adalah daun yang sudah kering. Ketika helai daun lontar  selesai ditulisi, akan disambung dengan cara dijahit helai per helai tergantung panjang catatan yang dibuat. Setelah itu lontara digulung untuk memudahkan penyimpanan sekaligus menjamin kondisi lontara tetap awet. Penggulungan lontara juga sebenarnya memudahkan lontara untuk dibaca dengan cara ujung lontara dijepit kayu lalu gulungan dibuka sembari membaca.

Madatte Arts Lontara
Pengukuran lontara yang dilakukan MSI Sulbar di Sendana (Foto: Koleksi MSI Sulbar)

Kanda Zulfihadi sempat memperlihatkan sebuah replika pena untuk penulisan lontara yang dibuat berdasarkan gambaran lisan dari orang tua beliau.  Bila diurai, terdiri dari mata pena yang diambil dari lidi enau atau kalam yang diruncingkan. Mata pena kemudian disambung dengan ranting sebagai gagang pena. 

Madatte Arts
Replika pena untuk menulis Lontara (Foto: Mujahiddin Musa)

Adapun cara penulisan lontara menurut kanda Zulfihadi adalah dengan cara diukir. Pena ditekan agar mata pena dapat mengukir huruf di atas daun lontar. Takaran tekanan mata pena tentu ditakar untuk menghindari daun lontar robek. Kemudian daun lontar yang telah berisi ukiran catatan tadi diolesi arang pembakaran kemiri lalu dilap kembali. Setelah dilap, arang yang tersisa di daun lontar hanya pada huruf yang terukir tadi. Tampaklah layaknya cetakan huruf di kertas.  

Belakangan untuk kepentingan penelitian, catatan lontara kuno kemudian disalin kembali oleh beberapa pihak ke dalam media kertas. Salinan itulah kemudian yang dikaji dan diterjemahkan lalu sampai kepada kita sebagai pembaca. 

Tulisan ini dibuat sekedar pelepas dahaga bagi kita yang ditakdirkan untuk tidak dapat melihat lontara secara langsung. Semoga bermanfaat!

Madatte Arts Lontara
Lontara Kerajaan Sendana di Puttada (Foto: Koleksi MSI Sulbar)




Sumber: Zulfihadi (Penggiat Sejarah Mandar dan Keturunan Passure')
Polewali, Rabu 26 April 2017