Tampilan spesial Mat Panggung (Foto: Salim M) |
Dalam denyut kehidupan kesenian, ada
wadah berkumpul dalam memasak kreatifitas yang umum disebut “Sanggar Seni”.
Wadah itu tidak harus bernama sanggar. Bisa bernama Teater, Komunitas, Ladang,
Lingkaran, Kebun, atau apa saja yang bermuatan sebagai wadah berkumpul, berbuat
sesuai dengan target dan misinya masing-masing.
Dalam wadah yang bernama Onedo itulah
Sahabuddin Mahganna bersama Ulfi Mahendra- adiknya dan kawan-kawan memasak
kreatifitas bermusiknya. Kalau tidak salah kurang lebih 7 tahun komunitas keseniannya
itu lahir. Sepertinya tidak jauh depa kelahiran Komunitas Sure’ Bolong,
Sossorang, Indietia Community, Teater Kakanna, Uwake, Pasak, Korumta dan
komunitas seni lainnya yang tumbuh di Sulawesi Barat. Entah siapa yang lebih
duluan, tapi itu bukan hal penting disini.
Sebelum agenda Loa Lio Lorong pertama
dan kedua yakni di tahun 2017 - 2018, Onedo yang konsisten pada ruang
eksplorasi musik telah hadir mewarnai jagat persilatan kesenian baik melalui
pertunjukan dan diskusi musik di sekret Onedo itu sendiri (Tinggas-Tinggas
Tinambung) maupun pada pembinaan serta menjadi perwakilan Sulawesi Barat pada
perhelatan musik anak se-nusantara, juga membawa komunitasnya ke Negeri Jiran
Malaysia bersilaturrahmi kebudayaan, dan yang paling monumental yakni pertunjukan
tunggal Onedo di Tinambung. Luar biasa!
Loa Lio sebelum ada Lorong-nya merupakan
konsep pemaknaan bunyi, musik yang ia gali, telisik selama pengembaraannya di
dunia kampus Seni Sendratasik UNM. Satu balanu pi’orroang dengan Dalip Palipoi
dan Ishaq Jenggot, saudara karibnya sekaligus luluare’ sallang yang sampai
sekarang masih total menjadi musyafir kebudayaan. Karena muallaf kebudayaan
juga ada seperti Munir Rumpita yang dari politik ke ranah kebudayaan terkhusus
dalam sejarah. Pangakuannya sendiri, dan saya aminkan sebagai salah satu yang
termasuk sebagai dewan R3 kategori suhu. Ururuuu! Ya, semoga lahir Anhar-Anhar
Gonggong meski tidak menjadi Munir Gonggong. Wkwkkk…
Kembali ke Onedo. Konsep Loa Lio Lorong
ia bahanakan dimana mana. Baik pada saat pentas musik anak di Jakarta maupun
saat pentas tunggal Onedo. Tahun 2017 Loa Lio diserap masuk menjadi tajuk
kegiatan Onedo bernama Loa Lio Lorong yang memang dihelat di lorong. Kalau
misal nanti tidak dihelat di lorong, maka bisa jadi ada alasan, misal pemaknaan
Lorong itu sendiri sudah meluas atau memang sudah Loa-loa.
Ada beberapa yang berbobot untuk kita
gali bersama dalam silaturrahmi di Loa Lio Lorong serta gelaran diskusi dan
workshop seni pada komunitas lainnya, yakni bahwa suatu komunitas seni tidak
mesti berproses dan gelisah pada saat jelang ada JOB dan FESTIVAL to. Paling
tidak ada agenda workshop baik pada ruang komunitas itu sendiri maupun
kolaborasi dengan sanggar lain. Ada agenda atau target pertunjukan tunggal baik
pada momentum Milad kelompok tersebut seperti Madatte Arts dan sanggar lainnya,
maupun pada momentum rancangan pertunjukan tunggal itu sendiri yang bisa dengan
strategi jual tiket, gratis dan lain-lain. Hitung-hitung sebagai edukasi dan
silaturrahmi serta unjuk bobot kreatifitas.
Saya selalu merasa bahagia dan rindu saat Teater Flamboyant yang dominan generasi ke 4-nya menghelat pentas tunggal, saat Ladang Tari Labada kibarkan tunggal pertunjukan tarinya di Tinambung, Madatte Arts yang memproduksi teater tiap Milad, Kosaster Siin pada Milad dan FTPA, Teater Kakanna dengan Siar Sastra dan Teaternya, Sanggar Sisalili dengan Art Festivalnya, Indietia Community dengan Apresiasi Seni dan Perkemahannya, Sossorang dengan Workshop dan Malauyungnya, Sure' Bolong dengan Mimbar Musikalisasi Puisi Ramadhannya, Uwake' dengan Cakrawala Budaya dan Sekolah Alternatifnya, Sikola Paqbanua dengan Festival Kampungnya serta sederet komunitas lain dengan berbagai bara daya kreatifnya yang luput dari pantauan dan memoriku.
Loa Lio Lorong telah menjadi bara daya
cipta pada alur proses menyemai karya-karya, sebab didalam gelaran itu satu
persatu karya baru ia perkenalkan atau secara tidak langsung ia lounching. Ada
jabat erat kekaryaan pula dari teman-teman yang hadir sebagai bentuk sokongan
serta solidaritas terhadap acara tersebut.
Maka catatan awal sebelum catatan ini
lahir yang sempat saya posting di FB berbunyi, bahwa musik alam IRRI-IRRIS
perlahan redup entah karena perluasan pemukiman & sawah-sawah semakin
berkurang, seakan memberikan alarm kepada kita semua bahwa kesenian jangan
sampai menjauhi hal kehidupan sekitar: yang bisa membuat indah LORONG kita
semua. Bahkan tumbuh di dalamnya LUMBUNG kesenian sebagai stok kini dan ke
depan. Amin.
M. Rahmat Muchtar (Mat Panggung)
Oktober, 2018