Senin, 26 November 2018

LUMBUNG KESENIAN (BARA DAYA CIPTA DI LOA LIO LORONG)


Tampilan spesial Mat Panggung (Foto: Salim M)



Dalam denyut kehidupan kesenian, ada wadah berkumpul dalam memasak kreatifitas yang umum disebut “Sanggar Seni”. Wadah itu tidak harus bernama sanggar. Bisa bernama Teater, Komunitas, Ladang, Lingkaran, Kebun, atau apa saja yang bermuatan sebagai wadah berkumpul, berbuat sesuai dengan target dan misinya masing-masing.
 
Dalam wadah yang bernama Onedo itulah Sahabuddin Mahganna bersama Ulfi Mahendra- adiknya dan kawan-kawan memasak kreatifitas bermusiknya. Kalau tidak salah kurang lebih 7 tahun komunitas keseniannya itu lahir. Sepertinya tidak jauh depa kelahiran Komunitas Sure’ Bolong, Sossorang, Indietia Community, Teater Kakanna, Uwake, Pasak, Korumta dan komunitas seni lainnya yang tumbuh di Sulawesi Barat. Entah siapa yang lebih duluan, tapi itu bukan hal penting disini.
 
Sebelum agenda Loa Lio Lorong pertama dan kedua yakni di tahun 2017 - 2018, Onedo yang konsisten pada ruang eksplorasi musik telah hadir mewarnai jagat persilatan kesenian baik melalui pertunjukan dan diskusi musik di sekret Onedo itu sendiri (Tinggas-Tinggas Tinambung) maupun pada pembinaan serta menjadi perwakilan Sulawesi Barat pada perhelatan musik anak se-nusantara, juga membawa komunitasnya ke Negeri Jiran Malaysia bersilaturrahmi kebudayaan, dan yang paling monumental yakni pertunjukan tunggal Onedo di Tinambung. Luar biasa!
 
Loa Lio sebelum ada Lorong-nya merupakan konsep pemaknaan bunyi, musik yang ia gali, telisik selama pengembaraannya di dunia kampus Seni Sendratasik UNM. Satu balanu pi’orroang dengan Dalip Palipoi dan Ishaq Jenggot, saudara karibnya sekaligus luluare’ sallang yang sampai sekarang masih total menjadi musyafir kebudayaan. Karena muallaf kebudayaan juga ada seperti Munir Rumpita yang dari politik ke ranah kebudayaan terkhusus dalam sejarah. Pangakuannya sendiri, dan saya aminkan sebagai salah satu yang termasuk sebagai dewan R3 kategori suhu. Ururuuu! Ya, semoga lahir Anhar-Anhar Gonggong meski tidak menjadi Munir Gonggong. Wkwkkk…
 
Kembali ke Onedo. Konsep Loa Lio Lorong ia bahanakan dimana mana. Baik pada saat pentas musik anak di Jakarta maupun saat pentas tunggal Onedo. Tahun 2017 Loa Lio diserap masuk menjadi tajuk kegiatan Onedo bernama Loa Lio Lorong yang memang dihelat di lorong. Kalau misal nanti tidak dihelat di lorong, maka bisa jadi ada alasan, misal pemaknaan Lorong itu sendiri sudah meluas atau memang sudah Loa-loa.
 
Ada beberapa yang berbobot untuk kita gali bersama dalam silaturrahmi di Loa Lio Lorong serta gelaran diskusi dan workshop seni pada komunitas lainnya, yakni bahwa suatu komunitas seni tidak mesti berproses dan gelisah pada saat jelang ada JOB dan FESTIVAL to. Paling tidak ada agenda workshop baik pada ruang komunitas itu sendiri maupun kolaborasi dengan sanggar lain. Ada agenda atau target pertunjukan tunggal baik pada momentum Milad kelompok tersebut seperti Madatte Arts dan sanggar lainnya, maupun pada momentum rancangan pertunjukan tunggal itu sendiri yang bisa dengan strategi jual tiket, gratis dan lain-lain. Hitung-hitung sebagai edukasi dan silaturrahmi serta unjuk bobot kreatifitas.

Saya selalu merasa bahagia dan rindu saat Teater Flamboyant yang dominan generasi ke 4-nya menghelat pentas tunggal, saat Ladang Tari Labada kibarkan tunggal pertunjukan tarinya di Tinambung, Madatte Arts yang memproduksi teater tiap Milad, Kosaster Siin pada Milad dan FTPA, Teater Kakanna dengan Siar Sastra dan Teaternya, Sanggar Sisalili dengan Art Festivalnya, Indietia Community dengan Apresiasi Seni dan Perkemahannya, Sossorang dengan Workshop dan Malauyungnya, Sure' Bolong dengan Mimbar Musikalisasi Puisi Ramadhannya, Uwake' dengan Cakrawala Budaya dan Sekolah Alternatifnya, Sikola Paqbanua dengan Festival Kampungnya serta sederet komunitas lain dengan berbagai bara daya kreatifnya yang luput dari pantauan dan memoriku.                      


Loa Lio Lorong telah menjadi bara daya cipta pada alur proses menyemai karya-karya, sebab didalam gelaran itu satu persatu karya baru ia perkenalkan atau secara tidak langsung ia lounching. Ada jabat erat kekaryaan pula dari teman-teman yang hadir sebagai bentuk sokongan serta solidaritas terhadap acara tersebut.
 
Maka catatan awal sebelum catatan ini lahir yang sempat saya posting di FB berbunyi, bahwa musik alam IRRI-IRRIS perlahan redup entah karena perluasan pemukiman & sawah-sawah semakin berkurang, seakan memberikan alarm kepada kita semua bahwa kesenian jangan sampai menjauhi hal kehidupan sekitar: yang bisa membuat indah LORONG kita semua. Bahkan tumbuh di dalamnya LUMBUNG kesenian sebagai stok kini dan ke depan. Amin.
 
 
M. Rahmat Muchtar (Mat Panggung)
Oktober, 2018