CERITA RAKYAT "NENEK PAKKANDE"

Dilambiq dicurita, hiduplah sepasang suami istri bersama kedua anaknya di tepian hutan. Kita sebut saja anak sulung I Lissiq dan adiknya bernama I Kaco. Mereka hidup dan bahagia dari hasil bertani sembari menanti kelahiran anak ketiga.

dongeng

Tak terasa waktu berlalu, Kindoqna I Lissiq kemudian melahirkan bayi perempuan yang kemudian diberi nama I Bulang.  Semakin lengkaplah kebahagian keluarga kecil ini.

Tappana diang mesa wattu, Kamaqna I Lissiq seperti biasa pergi ke sawah. Sedangkan Kindoqna I Lissiq setelah menyelesaikan tugas dapur, juga berniat ke sungai untuk mencuci. Dipanggillah kedua anaknya untuk menjaga si bungsu, I Bulang. Setelah ibunya berangkat ke sungai, ketiga anak ini asyik bermain di ranjang hingga akhirnya I Lissiq dan I Kaco kelelahan dan kemudian tertidur. Tinggallah I Bulang sendiri merangkak kesana-kemari mencoba menggapai apa saja yang memikat pandangannya. 

Di saat I Lissiq dan I Kaco sedang dibuai mimpi, tiba-tiba terdengar suara hempasan keras membuyarkan lelap. Tentu saja I Lissiq dan I Kaco tersentak dan ternyata, hempasan tadi telah berubah menjadi tangisan dari arah tepian bawah ranjang. I Bunga telah tergeletak meraung dengan darah menetes di kepalanya. Sontak I Lissiq mendekap adiknya sedangkan I Kaco langsung saja berlari mencari ibunya. 

Ibunya kemudian datang langsung melilitkan kain di kepala I Bunga sembari terus memarahi I Lissiq dan I Kaco. Masih dihantui rasa bersalah, Kamaqna I Lissiq kemudian datang membawa lelah dari sawah. Menjumpai kondisi anak bungsunya yang terluka, si Kamaq langsung naik pitam dan memukul I Lissiq dan I Kaco yang dianggap tidak bertanggung jawab. Beruntung I Lissiq dan I Kaco dapat kabur keluar rumah membawa pedih dan airmata. 

I Lissiq terus berlari bersama I Kaco sejauh rasa aman menenangkan hati. Tak terasa mereka telah masuk ke dalam hutan. Diliputi rasa takut, kedua adik kakak ini kemudian menemukan kebun yang banyak ditumbuhi buah-buahan. Didorong rasa lapar, keduanya  melahap buah-buahan yang ada. 

"Hei, siapa yang menyuruh kalian makan buah-buahan milikku?" suara serak mengagetkan kedua anak itu. Sontak mereka ketakutan.

"Kalian siapa dan hendak kemana?" sepasang kakek-nenek muncul tiba-tiba.

Kedua anak itu kemudian menceritakan ihwal kejadian. Kakek-nenek kemudian menawarkan untuk tinggal saja di rumahnya. Tahun berlalu, kedua anak itupun tumbuh semakin besar. 

Tappana bomo pada suatu hari.
"Kalian jangan kemana-mana. Saya dan kakekmu ke sungai dulu mengasah kapak."

"Iya nek, kami akan menunggu di rumah."

Tiba-tiba muncullah seekor tikus menceritakan sebuah rahasia kepada I Lissiq dan I Kaco. Sungguh di luar dugaan, tapi si Tikus tetap meyakinkan kedua anak itu bahwa jiwa mereka sedang terancam. Sesuai arahan si Tikus, kedua anak itupun mengendap ke tepi sungai mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh kakek-nenek mereka. Tak ada alasan untuk tidak percaya setelah mereka melihat kakek-nenek sedang mengasah giginya. Kakek-nenek yang selama ini mengasuh mereka ternyata adalah Nenek Pakkande.

"Saya yang memakan kakaknya, dan kau adiknya," kata nenek. Mendengar perbincangan itu, I Lissiq dan I Kaco langsung berlari kembali ke rumah dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk kabur. Kepanikan keduanya semakin menjadi ketika Nenek Pakkande dari jauh terlihat telah menuju rumah. 

"Kalian tidak akan sempat lari lagi. Ayo cepat naik pohon kelapa dan bernyanyilah," si Tikus memberi solusi.

"Tambah, tambah tinggimu pohon kelapa. Nenek Pakkande akan memakan kami." Seiring nyanyian, semakin tinggi pula pohon kelapa itu.


Tibalah Nenek Pakkande di rumah dengan gigi yang telah tajam. Sepasang Nenek Pakkande dengan penuh nafsu langsung mencari kedua anak itu. Lama mencari kemudian Nenek Pakkande sadar bahwa kedua anak itu berada di atas pohon kelapa. Dengan nafas memburu, Nenek Pakkande ikut memanjat pohon kelapa untuk mengejar. Sedangkan si Tikus bersama kawan-kawannya sibuk membuat perangkap di bawah pohon kelapa berupa bambu runcing yang ditancapkan di sekeliling pohon kelapa. 

Nenek Pakkande sangat cepat memanjat hingga mencapai daun kelapa. Tinggal sedikit lagi mencapai pucuk tempat I Lissiq dan I Kaco bersembunyi. Menyadari kondisi yang tidak menguntungkan ini, kawanan Tikus sigap berlari ke atas pohon kelapa untuk menggigit tangan dan kaki Nenek Pakkande hingga terjatuh ke tanah dengan tubuh tertancap bambu perangkap. 

Melihat hal itu, si kakek dengan penuh amarah ikut mengejar I Lissiq dan I Kaco. Tapi lagi-lagi kawanan Tikus bereaksi dan menyerang Kakek Pakkande. Mendapat serangan bertubi, Kakek Pakkande yang mulai kesakitan akhirnya melepaskan pegangannya dan bernasib naas sama dengan Nenek Pakkande.

Setelah selamat dari maut, dari atas pohon kelapa I Lissiq dan I Kaco mengamati sekeliling dan melihat sebuah rumah. Kawanan Tikus kemudian menumbangkan pohon kelapa itu tepat di depan rumah yang mereka lihat dari atas pohon. I Lissiq dan I Kaco harus menemukan keluarga baru sebab tak mungkin lagi tinggal di rumah Nenek Pakkande.

I Lissiq dan I Kaco kemudian melepaskan dekapannya dari daun kelapa yang telah tumbang. Mengamati rumah yang berada di depannya, seolah mengingatkan pada suatu kenangan.  Kemudian seorang bapak disusul seorang wanita yang belum terlalu tua muncul dari pintu. Lama mereka saling pandang hingga yakin bahwa yang berdiri di depannya tak lain adalah Kindoq-Kamaqna. Mereka saling berpelukan. Rindu dan cinta menyatukan mereka kembali. 

Kembali utuh dan sempurnalah kehidupan keluarga kecil ini.

*****


Isi kepala sangat terbatas
Lembaran kertas kadang hilang
Batas usia siapa yang tahu
Cerita Rakyat ini ditulis kembali dari: 
Kumpulan Cerita Rakyat Sulawesi Barat
Nenek Pakkande oleh Darna AN
(Kami di Madatte Arts utak-atik lagi)